Mari Berbagi Pengetahuan di Sini

Senin, 19 Desember 2011

Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

     Dalam kehidupan manusia, bahasa memainkan peranan penting. Seseorang yang tidak menguasai bahasa yang dipergunakan di sekitarnya, ia akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi dan mengintegrasikan diri di dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena itu, bahasa dikatakan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Kehidupan ada karena ada bahasa. Tanpa bahasa kehidupan takkan pernah ada.
    Bahasa adalah sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, bahasa merupakan salah satu sarana komunikasi antar sesama manusia yang tentunya bertujuan agar dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Saling memahami atau saling mengerti erat berhubungan dengan penggunaan sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami orang lain dengan baik apabila kita mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan orang lain atau membaca dengan baik apa yang ditulis orang lain. Kita dapat membuat orang lain memahami kita dengan baik apabila kita berbicara atau menulis dengan baik pula. Dengan kata lain, saling memahami bertalian dengan keterampilan mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis.
     Disamping sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki sistem. Bahasa perlu menaati kaidah-kaidah atau aturan bahasa yang berlaku. Kaidah-kaidah bahasa yang tersirat dan tersurat berupa intuisi penutur bahasa. Kaidah yang tersurat adalah sistem bahasa yang dituangkan dalam berbagai terbitan yang dihasilkan oleh penutur bahasa yang mempunyai minat dalam bidang bahasa. Kaidah-kaidah inilah yang menjadi acuan dalam penetapan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, realitas yang terjadi tidak semua kaidah tersebut dapat diterapkan dengan baik. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan bagaimana penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan bagaiman kriteria bahasa Indonesia yang baik dan benar itu.

Peranan Guru dalam Administrasi Sekolah Menengah

A.    Administrasi Personel
Administrasi personel dalam hal ini personel pendidikan adalah golongan petugas yang membimbing kegiatan edukatif dan yang membidangi kegiatan non-edukatif (ketatausahaan). Personel bidang edukatif adalah mereka yang bertanggungjawab terhadap kegiatan belajar mengajar, yaitu guru dan konseling (BK), sedangkan personel bidang non-edukatif adalah petugas tata usaha dan penjaga atau pesuruh sekolah.
Pembahasan administrasi personel ini dibatasi dan difokuskan kepada pembahasan guru sekolah menengah sebagai pegawai negeri. Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memnuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam perundang-undangan yang berlak, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu perundang-undangan yang berlaku.
Dalam peraturan pemerintah No. 29 tahun 1990 pasal 13 disebutkan bahwa pengadaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada sekolah menengah yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tanggung jawab menteri P dan Katau menteri lain (menteri agama atau menteri lain yang departemennya mempunyai sekolah kedinasan).

Teori Pemerolehan Bahasa pada Anak

    Psikolinguistik adalah gabungan dua disiplin ilmu yaitu psikologi dan linguistik. Dalam psikolinguistik dipelajari factor-faktor psikologis yang memungkinkan manusia mendapatkan, memahami dan menggunakan bahasa.  Psikolinguistik  meliputi proses kognitif  yang bisa menghasilkan kalimat  yang mempunyai arti dan benar  secara tata bahasa dari perbendaharaan kata dan struktur tata bahasa, termasuk juga proses yang membuat bisa dipahaminya ungkapan, kata, tulisan, dan sebagainya.  Psikolinguistik perkembangan mempelajari kemampuan bayi dan anak-anak dalam mempelajari bahasa dalam hal pemerolehan bahasa.
    Terdapat beberapa teori yang membahas mengenai perolehan bahasa pada bayi dan balita yang bersumber pada perkembangan psikologi yang bersifat natur dan nurture. Natur adalah aliran yang meyakini bahwa kemampuan manusia adalah bawaan sejak lahir. Oleh karena itu manusia telah dilengkapi secara biologis oleh alam (natur) untuk memproduksi bahasa melalui alat-alat bicara (lidah, bibir, gigi, rongga tenggorokan, dibantu oleh alat pendengaran) maupun untuk memahami arti dari bahasa tersebut (melalui skema pada kognisi). Sedangkan nurtur dalam perolehan bahasa berargumen bahwa bayi dan balita memperoleh bahasa karena terbiasa pada bahasa ibu. Hal ini terbukti pada pembentukan kemampuan fonem yang tergantung pada bahasa ibu. Dalam proses pemerolehan bahasa ada beberapa mekanisme yang harus dilalui. Adapun mekanisme-mekanisme dalam perolehan bahasa adalah sebagai berikut.

Bagaimana Manusia Memahami Ujaran

(Dardjowidjojo, Soenjono dan Unika Atma Jaya. 2003. PSIKOLINGUISTIK: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)

    Bab ini membahas bagaimana manusia dapat memahami kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana yang didengar. Bagaimana komprehensi (pembentukan makna dari bunyi) dalam sebuah kalimat yang kita ucapkan. Dari sudut pandang ilmu psikolinguistik, ada dua macam  komoprehensi (Clark & Clark 1977).yaitu:
1.    Komprehensi yang berkaitan dengan pemahaman atas ujaran yang kita dengar.
2.    Komprehensi yang berkaitan dengan tindakan yang perlu kita lakukan setelah ujaran itu kita dengar.
Untuk memahami makna suatu ujaran (kata, frasa, klausa, kalimat, wacana), ada beberapa hal pokok yang prlu kita ketahui. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.

1.    Struktur lahir dan struktur batin dari suatru ujaran
Pada struktur lahir dan batin ini kita diajarkan bagaimana kita memahami makna  suatu ujaran bukan hanya dari segi pemukaan yang kita lihat atau urutan kata yang terdapat pada ujaran tersebut atau ciri-ciri tertentu masing-masing kata (struktur lahir), tetapi kita diajarkan juga bagaimana kita dapat  memahami makna ujaran dari segi representasi yang mendasarinya atau kerumitannya yang terkesan menjadi sebuah kalimat yang ambigu (struktur batin).
Pada struktur lahir sebuah ujaran kita dapat mengambil contoh berikut agar dapat memahaminya.
Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis.
      Kalimat tersebut dapat kita pahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat oleh kita. Siapa pun yang mendengar kalimat ini akan memberi interpretasi yang sama, yakni, adanya seorang lelaki, lelaki itu sudah tua, dia senang bermain sesuatu, dan sesuatu itu adalah tenis. Sedangkan kehadiran pemahaman pada struktur batin pada sebuah ujaran dapat kita lihat pada contoh berikut.

Cerita Rakyat

Legenda dari Tanah Bone

Cerita dalam bahasa Bugis:

BATU MEMMANA`E

     Engkana ritu seuwwa wettu ri tana Bone, sibola marana` marindo`. Indo`na maka gello na makessing ampena, naikiyya ana`na kuttu`na kuttuE nama tumpeng toa kedona. Jama-jamanna indo`na iyanaritu mappulung-pulung aju ri ale`E, nai nappa lao na balu ri pasaE. ana`na laing toi, jama-jamanna iyanaritu mattennung lipa ugi nai nappa lao na balu ri padangkang-padangkang`E.
     Ri  bolana iyya mabelaE lao riyaseng nge makessing, engka seddi asu naparakai. Asenna iyyanaritu La Balo. Iyya he lapong asu maka patona risuro-suro. Engkanaro seuwwa esso, maka pellana essoE, napa relli-relli tongeng agaga nateppaiye. Nama tennung naro lapong ana` ri tengga esso`E, na pole alalena topa ri bolaE, nasaba lapong indo lao ri pasaE ma`balu aju. Ritengga jama-jamanna mattennung, poleniro cakkarudduna lapong ana`. Cakkado ado ni ri onrong na tudang. Magi nateppa sempe`na parewa tennung na lao ri sabolaE. Nasaba cakkaruddu na pole toni kuttuna, tea atinna lapong ana` ma`kedde malai parewa tennung na. Maelo mellau tulung ri indo`na, naikiyya lapong indo dei gaga ribolaE. Pole nainggngarang ni makkeda engka . parewa tennung ku ri sabolaE!” ri saliweng pappe sangkana lapong ana`, na ma`bali mana La Balo makkeda: “Iyye puang, tatajeng nni cinampe`” Iyya maka seleng nna lapong ana` mengkalingai asunna macca ma`barekkada pada rupa  tauwe. Pede` tattamba ni ro seleng na lapong ana` riwettu napeneddingini  ajena de`naulle kedo. Mattedde pada batuE ajena lapong ana`. Na sibawa ro tau na, terri ni lapong ana` nai nappa naolli-olli indo`na. Maitta-maitta tainiyya ajena bawang matedde, naikiyya seddi ni batang kale, tassesa ulunna.

Jenis-Jenis Kalimat

A.    Berdasarkan Pengucapannya
Berdasarkan pengucapannya, kalimat dibedakan menjadi dua macam yakni:
1.    Kalimat langsung
Kalimat langsung adalah kalimat yang secara cermat menirukan gaya pengucapan orang lain. Kalimat langsung juga dapat diartikan kalimat yang memberitakan bagaimana ucapan dari orang lain (orang ketiga). Kalimat ini biasanya ditandai dengan petik dua (“…”) dan dapat berupa kalimat tanya atau kalimat perintah.
Contoh:
    Ibu berkata, “Rohan, jangan meletakkna sepatu di sembarang tempat.”
    “Saya gembira sekali”, kata Ayah, “karena kamu lulus ujian.”
2.    Kalimat tak langsung
Kalimat tak langsung adalah kalimat yang menceritakan kembali ucapan atau perkataan orang lain. Kalimat tak langsung tidak lagi dtandai dengan adanya tanda petik dua dan sudah diubah menjadi kalimat berita.
Contoh:
    Ibu berkata bahwa dia senang sekali karena aku lulus ujian.
    Kakak berkata bahwa buku itu harus segera dikembalikan.
B.    Berdasarkan Jumlah Frasa (Struktur Gramatikal)
Berdasarkan jumlah frasa atau struktur gramatikalnya, kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Kesatuan Konflik dalam Drama “Bunga Rumah Makan” Karya: Utuy Tatang Sontani

Oleh: Ika Sartika
Mahasiswa FKIP Universitas Halu Oleo
Kampus Bumi Tridharma, Jln. HEA Mokodompit 93212 Telp: 085296124846 Email: s.ika56@yahoo.com

Abstrak
    Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Tetapi naskah drama memiliki bentuk sendiri yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan (Waluyo, 2003:2). Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas dihadapan penonton (audience). Dalam penelitian ini, peneliti akan menguraikan lebih mendalam tentang konflik yang terdapat dalam naskah drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani. Bahwa konflik di dalam drama berkedudukan sebagai unsur dasar cerita serta berfungsi antara lain sebagai unsur yang memiliki peranan utama dalam menghidupkan peristiwa-peristiwa yang membentuk alur, serta secara umum berfungsi pula sebagai penyampai cerita dijadikan sebagai landasan atau dasar dalam penelitian ini, yang kesemua itu akan diuraikan di bagian pembahasan.
Latar Belakang
    Sastra adalah proses penciptaan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya berdasarkan sistem norma dan konvensi-konvensinya dengan menonjolkan aspek estetik. Menurut Horace, terdapat dua fungsi sastra yaitu “dulce” dan “utile”, yakni sebagai hiburan dan bermanfaat. Dua fungsi sastra tersebut melekat pada setiap karya sastra. Artinya, di samping berfungsi sebagai hiburan juga dapat bermanfaat. Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang bersifat indah dan dapat menimbulkan kesan yang indah pada jiwa pembaca. Oleh karena itu, salah satu ciri karya sastra adalah bersifat imajinatif, yaitu menimbulkan citra atau bayangan tertentu di dalam benak penikmatnya.
    Menurut genrenya, karya sastra dapat dibagi menjadi tiga yakni, puisi, prosa (fiksi) dan drama. Dari ketiganya, drama merupakan genre yang unik. Drama tidak sekedar dibaca tetapi juga dipertontonkan. Sebagai tontonan, cerita drama dikatakan empheral, yaitu bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Sejauh ini, drama masih dikatakan berasal dari Yunani, draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, beraksi dan sebagainya. Istilah lain yang sama dengan drama adalah sandiwara (dari bahasa Jawa) yang maksudnya cerita rahasia. Cerita tersebut kemudian digolongkan menjadi salah satu genre sastra, yakni sastra yang bercerita.

Cerpen: Tak Pernah Sampai

 Oleh : Ika Sartika
     Senja sudah harus berlalu, karena malam juga ingin menampilkan pesonanya. Sepasang mata menatap lepas ke angkasa, seperti menanti kehadiran kerlip bintang, tapi tatapan itu kosong. Mata itu masih di situ, menatap ke angkasa tanpa reaksi nyata. Ada basah di sudut lancip penanda sipitnya, mengalir menganak sungai. Tapi empunya mata tak  sedikit pun ada niat untuk menyeka atau menyudahi tangisnya. Ia menangis tapi tak sesegukan seperti lazimnya orang menangis. Pertanda ia sedang menangis hanyalah adanya air mata yang membentuk dua sungai di pipi tirusnya.
    Malam mulai menjemput menghadirkan bulan yang datang dengan malu-malu menyembul di pelataran angkasa luas bersama bintang-bintang gemerlap. Hanya sunyi yang ada, hingga terdengar jelas nyanyian serangga malam, menghadirkan lagu kidung malam, di segudang keperihan dan kepedihan dalam kegelapan. Ia masih di situ. Kini terdengar lirih suaranya melagukan nyanyian kerinduan akan sesuatu untuk bisa ia dekap dalam hadir yang nyata. Malang sungguh telah hadir di kehidupannya kini, tiada siapa yang bisa tahu akan apa yang telah terjadi dalam kenyataan yang pernah dihadapinya saat harus kehilangan orang yang sangat dicintainya.
    Adakah puing-puing yang berserakan akan dapat menguraikan segala kesaksian nyata? Bisakah sang angin mewartakan kejadian yang sesungguhnya dan bisakah sang senja kala itu menaunginya dari rasa kehilangan yang mencekan jiwanya? Saat itu hanya ada luka, yang entah kapan sembuhnya.
***
    Aku melihatnya pertama kali di jalan, sedang menuntun seorang nenek yang ingin menyeberang di jalan yang memang ramai pada saat itu. Wajahnya biasa saja. Tapi ada aura yang seakan-akan memanggil dan memintaku untuk mendekatinya. Aku tiba-tiba saja menghentikan laju mobilku dan memutuskan untuk mengikutinya. Ternyata dia masuk di sebuah warung pinggir jalan tak jauh dari tempatku berdiri memandangnya. Tak lepas tatapanku pada sosoknya yang ramping. Di dalam warung itu, ia sibuk melayani pembeli.

Cerpen: AKU DI SINI


 Oleh: Ika Sartika

     Hari masih belum pagi benar. Lembayung malu-malu mengintip dari balik tirai kabut dan sela pepohonan yang menaungi kampus Buma Tridharma Unhalu. Jarak pandang mata pun belum begitu stabil. Seratus meter ke depan yang kulihat hanyalah kabut putih yang bila ku hirup menyebabkan kepalaku agak pening. Entah apa penyebabnya, mungkin kandungan air yang ada di kabut itu. Gedung-gedung fakultas yang kulalui belum menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Semua masih terlelap dibuai mimpi, terbungkus selimut putih yang dinamai kabut.
    Biasanya, akhir minggu seperti ini banyak mahasiswa-mahasiswi yang memanfaatkan waktu mereka untuk berlari-lari pagi di ruas-ruas jalan kampus. Tapi pagi ini, hanya kutemui  dua tiga orang tadi. Berpapasan atau saling mendahului tanpa melempar senyum atau bertegur sapa sekedar basa-basi selamat pagi.  Sudah menjadi ssebuah hal yang lumrah bila mereka atau aku tak salaing menyapa, itu karena kami tak saling mengenal.kebanyakan mahasiswa yang berlar-lari pagi berasal dari Pendidikan Penjaskesrek yang rata-rata cowok, sedangkan aku dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, meski kami masih satu fakultas.
    Tiba di persimpangan jalan, aku berhenti dari langkah pelanku. Memang sedari tadi aku tak berlari, hanya sekedar jalan untuk meluruskan urat-urat tubuhku yang kurasa menegang akhir-akhir ini. Bagaimana tdak, minggu ini adalah masa-masa ujian akhir semester, otomatis aktivitas belajar kami meningkat dari biasanya. Ditambah dengan banyaknya tugas yang harus diselesaikan sebelum pergantian bulan. Belum lagi kerusuhan yang mewarnai kampus minggu lalu yang entah apa juntrungannya. Kami tak tahu, tapi itu cukup kuat untuk memberi kami terapi batin yang mampu menaikkan urat-urat saraf sampai mendekati batas maksimal. Stress.
    Kuambil ponsel dari saku celana olahragaku. Ponsel hitam yang terlilit headshet putih, tersambung di kedua telingku, memperdengarkan lantunan lagu-lagu yang cukup sebagai pemberi semangat dari salah astu stasiun radio favoritku.

Dosenku Ideal Gak Yacchhhh...????


     Jika Anda termasuk orang yang beruntung, dan pernah mencicipi suka dukanya bangku kuliah, Anda pasti mengenal dan mengetahui apa itu dosen. Lebih praktis, dalam sebuah artikel dikatakan bahwa dosen adalah pegawai universitas yang bertanggungjawab mengajarkan mata kuliah tertentu kepada mahasiswa setiap semesternya. Lebih lanjut menurut Wikipedia via paman Google, dosen adalah  pendidik professional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
     Menjadi seorang dosen, seperti halnya guru, tentunya menjadi kebanggaan tersendiri secara pribadi maupun bagi keluarga dan kerabat. Mengapa? Karena profesi dosen, khususnya di Indonesia merupakan sebuah profesi yang kredibel. Dihormati. Profesi dosen memang selayaknya ditempatkan pada spektrum mulia di ranah kehidupan pekerjaan seseorang. Mengingat tanggungjawab yang diembannya, akan melahirkan dan memberikan kontribusi berupa proses perubahan bagi kualitas sumber daya manusia – apakah akan menjadi sumber daya manusia yang mumpuni atau tidak bagi keberlangsungan eksistensi kehidupan mereka (baca= mahasiswa) di kemudian hari.
     Di pandang dari status sosial maupun ekonomi, dapat di simpulkan bahwa dosen cukup mapan. Apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden No.59 tahun 2006, mengenai tunjangan bagi dosen. Hal ini lebih mengukuhkan profesi dosen yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Ditambah dengan nuansa-nuansa intelektualitas yang dimilikinya, menempatkan dosen di kalangan masyarakat menengah ke atas.
Dosen mempunyai peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan mempersiapkan mahasiswanya untuk menghadapi realitas  kehidupan sosial yang ada di masyarakat. Kehidupan yang penuh dengan kompetisi dan persaingan, utamanya dalam hal pekerjaan. Untuk itu, tidak sembarang orang dapat dikukuhkan sebagai dosen. Tidak boleh hanya bermodal title yang bergensi atau sebatas pengetahuan yang memadai. Seorang dosen haruslah sosok yang mampu menempatkan diri sebagai kontributor ilmu pengetahuan bagi mahasiswanya, juga menjadikan dirinya sebagai orang yang pantas diteladani, baik dari segi etika, moral, maupun dari segi penampilannya

Perempuan dalam Drama "Waktu Perempuan" Karya Royal Ikmal

 Oleh: Ika Sartika
(email: tika_tootoot90@ymail.com)

    Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang bersifat indah dan dapat menimbulkan kesan yang indah bagi pembacanya. Oleh karena itu, salah satu ciri karya sastra adalah bersifat imajinatif, yaitu menimbulkan citra atau bayangan tertentu di dalam benak penikmatnya., sehingga mampu membangkitkan perasaan senang, sedih, marah, benci, dan dendam. Perasaan itu muncul bukan oleh perasaan atau pertentangan nasib melainkan pengaruh teknik penceritaan penulis. Sebuah karya sastra yang jadi, merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Karya tersebut merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistic. Sebagai sebuah totalitas, sastra mempunyai bagian-bagian, unsure-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.
     Menurut genrenya, karya sastra dapat dibagi menjadi tiga, yaitu prosa (fiksi), puisi dan drama. Adapun focus kajian yang akan diangkat dalam analisis ini berpusat pada drama. Drama merupakan genre sastra yang unik. Drama tidak sekedar dibaca tetapi juga dipertontonkan. Sebagai tontonan, cerita drama dapat dikatakan ephemeral, yaitu bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama.
   Seperti halnya dalam prosa fiksi maupun puisi dalam drama juga terdapat dua unsure yang membangunkan. Kedua unsure tersebut adalah unsure intrinsic dan ekstrinsik. Unsure intrinsic sebuah sastra adalah unsure-unsur yang secara langsung turut serta membangun karya  sastra. Salah satu unsure itu adalah unsure tokoh dan penokohan. Menurut Sudjiman, tokoh adalah individu rekaan yang berwujud manusia atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita. Dalam hal penokohan di dalamnya terdapat hal-hal yang berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh, keadaan social tokoh, serta karakter tokoh.

ANALISIS TIPOLOGI NOVEL-NOVEL DETEKTIF (ALUR, TOKOH, MOTIF DAN LATAR SOSIAL)

      Novel detektif adalah novel yang keberadaannya sudah tidak asing lagi. Di Indonesia dikenal pengarang-pengarang novel detektif seperti S Mara Gd, Marga T, Aryono Grandy dan pengarang-pengarang lain yang tidak mengkhususkan diri sebagai penulis novel detektif tetapi menghasilkan beberapa karya  bergenre detektif. Sedangkan pengarang dari luar negeri seperti Agatha Christie, Sandra Brown, Sir Arthur Conan Doyle, dan lain-lain.
    Jenis novel detektif yang banyak ditemui di Indonesia adalah jenis klasik atau tepatnya roman policier a enigma (cerita detektif berteka-teki) dengan sedikit variasi di sana-sini. Namun, jenis itu tdak terlalu murni, terutama dalam cerita detektif  untuk remaja, karena selama dilakukan pelacakan, kejahatan tetap terjadi dan sang detektif pun terancam bahaya. Yang tidak terduga adalah adanya roman yang keras dan brutal dalam khasanah cerita detektif Indonesia. Tetapi pengarang yang mengkhususkan diri dalam penulisan cerita tersebut hanya seorang pengarang, yaitu Aryono Grandy.
    A Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra menjelaskan kriteria novel atau roman detektif. Sebenarnya pendapat ini lebih tepat disebut konvensi roman detektif yang harus diketahui pembaca sebelum membaca novel atau roman detektif. Menurutnya ada lima point yang terdapat dalam konvensi roman detektif, yaitu:
1.    Keberadaan mayat atau orang yang terbunuh
2.    Adanya keraguan yang disengaja
3.    Adanya detektif yang lebih pintar dari semua pelaku
4.    Adanya ketegangan yang terus menerus.

Menurut Teeuw, ketegangan itu merupakan hal yang penting dalam sebuah novel atau roman detektif. Rasa tegang itu selalu diharapkan oleh pembaca. Pembaca selalu dibuat ragu-ragu oleh sesuatu hal, apakah hal itu penting ataukah tidak dalam perkembangan alurnya.

PROFESIONALITAS DAN ETOS KERJA GURU DI ERA GLOBAL

Ika Sartika
Mahasiswa FKIP Unhalu

   

Abstrak

   
    Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menguraikan dan melihat sudah sejauh mana sebenarnya eksistensi guru dalam hal memberikan pemahaman dan pembelajaran kepada anak didiknya. Penulisan mengambil data dari berbagai buku dan artikel yang telah ditulis oleh para peneliti sebelumnya. Selain itu, diadakan juga sedikit wawancara kepada masyarakat mengenai pandangan mereka dalam hal profesionalitas dan etos kerja para guru sekarang ini. Profesionalitas dan etos kerja guru yang di sorot dalam tulisan ini adalah sejauh mana mereka –para guru- menjalankan tugas keguruannya. Apakah tugas tersebut dijadikan sebagai panggilan hidup untuk memanusiakan manusia ataukah hanya sebagai profesi untuk mencari nafkah semata. Selain itu diuraikan juga bagaimana seharusnya guru bersikap dalam menghadapi tantangan era globalisasi yang saat ini semakin merajalela. Secara umum artikel ini berisi tentang kinerja dan pandangan guru mengenai profesi keguruannya itu sendiri.

Kata Kunci

    Kata kunci : profesi, etos kerja, pendidikan, guru, globalisasi.



Pendahuluan

    Pendidikan merupakan salah satu sector penting dalam pembangunan di setiap Negara. Menurut Undang-Undang No.20 tahun 2004, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segalapotensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk  mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan yang mulia ini maka disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yangbtelah ditentukan. Untuk iu, diperlukan tenaga pendidik atau guru untuk melaksanakan dan merealisasikan kurikulum tersebut di sekolah-sekolah.
    Guru adalah orang yang sangat berpengaruh dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, guru harus betul-betul membawa siswanya kepada tujuan kurikulum yang ingin dicapai. Guru harus mampu mempengaruhi siswanya. Guru harus berpandangan luas dan criteria bagi seorang guru ialah harus memiliki kewibawaan.
    Kewibawaan adalah sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang guru. Guru yang mempunyai kewibawaan berarti mempunyai kesungguhan, suatu kekuatan, suatu yang dapat memberikan kesan dan pengaruh. Pengetahuan teknik mengajar juga pengalaman-pengalaman tidaklah cukup untuk mempengaruhi seseorang. Ini adalah misteri dalam mengajar, dan sama dengan misteri yang terdapat di dalam proses penyembuhan. Seni lebih dari sekedar pengetahuan atau keterampilan. Seni itu melandasi kemampuan untuk penampilan diri.

Senin, 12 Desember 2011


Kemampuan Menggunakan Diksi (Pilihan Kata) pada Karangan Narasi
Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Basala Kecamatan Basala Kab. Konawe selatan
Oleh: Ika Sartika / A1D1 08 050

Bab 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kemampuan menulis merupakan salah satu aspek kemampuan berbahasa yang diperoleh paling akhir dalam rangkaian proses pemerolehan bahasa manusia karena kemampuan menulis hanya dapat dicapai setelah aspek menyimak, berbicara dan membaca dikuasai. Menulis sebagai salah satu aspek kebahasaan yang diajarkan di sekolah menengah pertama dan tingkat atas dirasakan masih jauh dari harapan.
Masalah yang sering timbul dalam pengajaran karang mengarang  khususnya dalam karangan narasi adalah kurang mampunya siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini dapat dilihat dari pilihan kata atau diksi yang kurang tepat dan kalimat yang kurang efektif. Untuk itulah, penelitian tentang kesalahan penggunaan diksi (pilihan kata) pada karangan narasi siswa perlu dilaksanakan dalam semua tingkat pendidikan sekolah.

B.    Rumusan Masalah
Masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah kemampuan siswa kelas VIII SMP Negeri II Basala dalam menggunakan diksi (pilihan kata) pada karangan narasi?”

C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.    Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kesalahan penggunaan diksi (pilihan kata) dalam karangan narasi siswa kelas VII SMP Negeri II Basala.
2.    Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan ini adalah:
a.    Bahan informasi bagi guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tentang penggunaan diksi dalam karangan narasi siswa.
b.    Sebagai bahan perbandingan dan bahan referansi bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Bab 2
KAJIAN PUSTAKA
A.    Pengertian Menulis dan Mengarang
Keterampilan menulis adalah kemampuan seseorang dalam melukiskan lambang garfis yang dimengerti oleh penulis bahasa itu sendiri dan orang lain yang mempunyai kesamaan pengertian terhadap simbol-simbol tersebut. Keterampilan menulis menjadi salah satu cara berkomunikasi, karena dalam pengertian tersebut muncul satu kesan adanya pengiriman pesan dan penerimaan pesan. 
 Mengarang pada dasarnya merupakan hasil perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis yang dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca. Widyamartaya (1990: 9) berpendapat bahwa mengarang adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami tepat seperti yang dimaksudkan oleh penulis. Pengertian ini mengandung empat unsur penting, yaitu: (1) gagasan, (2) bahasa tulis, (3) untuk membaca, (4) terpahami.

Problema dalam Belajar Bahasa

           Menurut Lovitt (1989) ada berbagai penyebab terjadinya problema dan kesalahan dalam belajar bahasa. Berbagai penyebab tersebut adalah sebagai berikut: (a) kekurangan kognitif, (b) kekurangan memori, (c) kekurangan kemampuan melakukan evaluasi, (d) kekurangan kemampuan memproduksi bahasa, dan (e) kekurangan dalam bidang pragmatic atau pengunaan fungsional bahasa. Penyebab-penyebab tersebut tentunya berpengaruh bagi proses pembelajaran dan perkembangan pengetahuan anak, khususnnya dalam hal kebahasaan dan dalam berkomunikasi. Berikut ini diuraikan satu persatu kekurangan tersebut beserta dengan contohnya.

A.    Kekurangan Kognitif
           Kekurangan kognitif merupakan salah satu penyebab utama terjadinya problema atau kesalahan dalam belajar bahasa. Kekurangan kognitif merupakan kekuranga dimana seorang anak tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang memadai mengenai suatu bahasa. Akibatnya ia sering melakukan kesalahan berbahasa dalam proses komunikasinya sehari-hari. Setidaknya terdapat tujuh jenis kekurangan yang disebabkan oleh kekurangan kognitif pada diri seorang anak. Berikut ini diuraikan satu persatu beserta dengan contohnya:
1.    Kesulitan memahami dan membedakan makna bunyi wicara
          Anak kesulitan belajar sering memiliki gangguan persepsi auditoris, yaitu kesulitan untuk memahami makna bunyi wicara. Kondisi semacam itu menyebabkan anak mengalami kesulitan untuk merangkai fonem, segmentasi bunyi, membedakan nada, mengatur kenyarinyan, dan mengatur durasi bunyi

Sejarah Perkembangan Pragmatik

Kajian pragmatik dipilah menjadi dua bagian oleh Leech (1983) yakni pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Kajian pragmalinguistik dekat dengan tradisi Anglo-Amerika, dan sosiopragmatik beririsan dengan kajian pragmatik Kontinental. Tradisi kajian pragmatik Anglo-Amerika digolongkan sebagai kajian linguistik formal, sedangkan tradisi kajian pragmatik Kontinental digolongkan sebagai kajian linguistik fungsional. (Gunarwan, 1996)
Pragmatik tradisi kontinental menjadi latar kajian ini. Dengan pertimbangan bahwa analisis pragmatik ini memiliki jangkauan kajian yang lebih luas dan dalam, yakni mencakup tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, sebagaimana ditunjukkan oleh Schiffrin (1994), Yule (1996), dan Van Dijk (1998; 2000).

Perkembangan Pragmatik di Dunia

Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan.
Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu: Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.
Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54), keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu.
Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal ini berdasarkan penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat Malagasi.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.

Senin, 05 Desember 2011

 SEJARAH JURNALISTIK

Dalam perkembangannya, jurnalisme memiliki sejarah yang sangat panjang. Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat tua, dimulai zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna.
Berbeda dengan media berita saat ini yang 'mendatangi' pembacanya, pada waktu itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita tentang Senat.
Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi juga orang bebas yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu.
Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus itu terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja.
Kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai mengembangkan berbagai metode untuk mempublikasikan berita atau informasi.
Pada awalnya publikasi informasi itu hanya diciptakan untuk kalangan terbatas, terutama para pejabat pemerintah. Baru pada sekira abad 17-18 surat kabar dan majalah untuk publik diterbitkan untuk pertama kalinya di wilayah Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum ini sering mendapat tentangan dan sensor dari penguasa setempat. Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS, mengesahkan undang-undang kebebasan pers.
Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang luar biasa ketika budaya membaca di masyarakat semakin meluas. Terlebih ketika memasuki masa Revolusi Industri, di mana industri surat kabar diuntungkan dengan adanya mesin cetak tenaga uap, yang bisa menggenjot oplah untuk memenuhi permintaan publik akan berita.

Pendidikan Kewartawanan

Kebutuhan akan adanya informasi merupakan salah satu “makanan pokok” bagi masyarakat. Akibat adanya kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, maka arus informasi makin deras menerpa masyarakat. Untuk itu peran seorang wartawan dalam hal mengumpulkan dan mengolah berita untuk kemudian dipublikasikan menjadi sangat penting.
Tidak semua orang bisa menjadi wartawan. Dalam salah satu artikel dikatakan bahwa journalis must be made, artinya, wartawan harus diciptakan dan dibangun. Wartawan bukan berdasar hanya karena adanya bakat menulis atau memiliki kepandaian dalam hal menulis, meskipun itu juga menjadi salah satu kompentensi yang harus dikuasai untuk bisa menjadi seorang wartawan. Wartawan harus memiliki sebuah lembaga pendidikan tertentu. Lembaga tersebut dinamakan lembaga pendidikan jurnalistik. Lembaga ini diadakan dan dibanguan dengan tujuan yang jelas, yakni untuk memperkaya wawasan dan membekali keterampilan seorang wartawan ketika ia menggunakan media yang semakin canggih.
Wartawan harus berwawasan luas agar tulisan pemberitaan jelas, jernih, dan mengandung cakrawala yang juga luas. Bebas dari polusi ketidakjujuran yang bias membuat masyarakat menjadi skeptis. Kebijakan pemberitaan yang ditentukan oleh seorang redaktur tidak sembarangan diterbitkan. Setiap kejadian yang terjadi di masyarakat yang diolah menjadi informasi actual, harus dijaga agar tidak gampang menurunkan nilai dan derajat masyarakat itu sendiri. Sebab, menurut George Bastian, wartawan adalah Pembina masyarakat.
Pada akhir abad XIX dan pada awal abad XX, sejumlah ilmuwan sudah memperdebatkan apa ukuran jurnalisme  yang bermutu. Namun dapat dikatakan bahwa diskusi tersebut tidak  menemui titik terang. Mereka terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu yang berpendapat bahwa wartawan membutuhkan sebuah sekolah jurnalistik (Pulitzer yang memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism  pada tahun 1902) dan kubu yang berpendapat bahwa  wartawan tidak memerlukan sekolah secara khusus namun belajar dari berbagai disiplin ilmu (orang-orang dari Universitas Harvard yang mendirikan Nieman Foundation on Journalism pada tahun 1939).
KEWARTAWANAN

A.    Pengertian Wartawan dan Kewartawanan
Wartawan adalah orang yang bekerja dan mendapat nafkah sepenuhnya dari media massa. Tugas pokoknya sebagai peliput, penyusun berita, dan menyebarkan berita. Wartawan disebut juga juru warta, jurnalis, reporter, newsgatter, press-man, kuli tinta, nyamuk pers, komunikator massa, dan pembela kepentingan rakyat.
Dalam sumber lain yang dipetik dari http://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan, wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirim dan dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dipublikasikan dalam media massa seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber berita untuk ditulis dalam laporannya adalah laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat. Dari  beberapa pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa wartawan adalah orang yang secara rutin mencari informasi untuk diberitakan kepada khalayak secara obyektif.
Dalam Undang-Undang No. 11 tahun 1996, pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa kewartawanan ialah pekerjaan/ kegiatan/ usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengelolaan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan, radio, televisi dan film. Sedangkan dalam pengertian sempinya, kewartawanan bias difahami sebagai kegiatan yang berhubungan dengan bentuk penulisan untuk media komunikasi massa.
Definisi-Definisi Jurnalistik

1.    Secara harfiah (etimoloigs, asal-usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya kewartwanan atau hal-ikhwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day). Dalam bahasa Belanda “journalistiek” artinya penyiaran catatan harian.
2.    Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi hurnalistik bukanlah pers maupun media massa. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, jurnalistik adalah kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis surat kabar, majalah atau berkala lainnya.
3.    F. Fraser Bond dalam bukunya An Introduction to Journalism menyatakan: “jurnalistik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pembuatan berita, ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati berita.”
4.    M. Djen Amar menyatakan bahwa jurnalistik adalah usaha dalam memproduksi kata-kata dan gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide atau gagasan dalam bentuk suara. Inilah cikal bakal makna dari jurnalistik sederhana. Jurnalistik merupakan kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya.
5.    Menurut M. Ridwan, jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis dalam mengumpulkan dan mengedit berita untuk pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan-terbiatn berkala lainnya. Selain bersifat keterampilan praktis, jurnlaistik juga merupakan seni.
6.    Menurut Adinegoro, jurnalistik adalah semacam kepandaian karang-mangarang yang pada pokoknya member perkabaran kepada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya.
7.    Onong U Efendi mengartikan jurnalistik sebagai teknik mengolah berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Pada mulanya jurnalistik hanya mengolah hal-hal yang informative saja.
8.    Roland E. Wolseley mengartikan jurnalistik sebagai penumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematis dan dapt dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran.
9.    Menurut Astrid S. Susanto, jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari.
10.    Erick Hodgins (redaktur majalah Time) mengatakan bahwa jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan.
11.    Haris Sumardiria, pengertian secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan data, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui  media berkala kepda khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya.

BERITA

 Sebuah berita ditulis tidak hanya karena merupakan peristiwa besar. Lebih dari itu berita disampaikan terutama melalui tulisan merupakan bagian dari kerja jurnalistik dalam  menyampaikan informasi penting bagi masyarakat. Dengan informasi ini, dalam bentuk paket berita, masyarakat bisa memahami apa yang terjadi di sekitarnya dan bertindak berdasarkan informasi dari media massa itu. Sesungguhnya berita adalah hasil rekonstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan. Itulah sebabnya ada orang yang beranggapan bahwa penulisan berita lebih merupakan pekerjaan merekonstruksikan realitas sosial ketimbang gambaran dari realitas itu sendiri.
A.    Menulis Berita
Menulis adalah pekerjaan seni. Namun karena berita meyajikan fakta-fakta yang dapat mempengaruhi masyarakat, maka ada kaidah-kaidah tertentu yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang wartawan.
Ada perbedaan dalam menulis berita pada surat kabar dan siaran radio atau televisi. Begitu pun juga pada majalah. Berita pada surat kabar, meski tertulis dan dapat disimpan lama, terbatas pada halaman surat kabar tersebut.  Karena itu, penulis harus menghindari uraian yang terlalu panjang, karena akan mengakibatkan kejenuhan pada pembaca. Berita radio dan televisi hanya didengar dan dilihat sekilas. Konsumen berita radio dan televisi hanya bisa membayangkan kejadian yang diberitakan, tidak bisa menyimpannya seperti surat kabar. Untuk itu, pemilihan diksi yang tepat dapat membantu masyarakat untuk cepat menangkap maksud atau isi berita.
Syarat untuk menulis berita yang baik untuk surat kabar, radio maupun televisi harus menggunakan kalimat yang Tepat-Ringkas-Jelas-Sederhana-Dapat Dipercaya.
Berita harus tepat artinya pemilihan kata-kata dalam menyusun kalimat berita harus tepat dan benar. Hindari penggunaan kata-kata ilmiah yang kemungkinan tidak dimengerti oleh khalayak ramai. Gunakan kata-kata yang sudah familiar. Jika narasumber memberikan informasi dengan kalimat-kalimat klise, maka sudah menjadi tugas wartawan untuk menyajikan informasi tersebut dengan kalimat sederhana yang mudah dipahami.
Berita harus ringkas artinya dalam menyusun kalimat untuk naskah berita, harus menggunakan kalimat yang ringkas, tidak berbelit-belit, dan hindari kata-kata yang tidak perlu. Hindari penggunaan kalimat majemuk karena akan terjadi pemborosan kata-kata. Menulis berita yang ringkas belum berarti sedikit. Tidak perlu bertele-tele dan tidak perlu menjelaskan hal-hal yang sudah jelas.
Berita harus jelas artinya susunan kalimat berita harus dirangkai secara tepat dan mengandung arti yang jelas. Hindari penggunaan istilah asing atau bahasa daerah yang tidak dimengerti oleh masyarakat luas. Agar berita mudah dimengerti, gunakan unsure 5W+H. berita yang jelas berarti tidak menyembunyikan hal-hal atau sesuatu yang bersifat negative dan tidak memihak. Hal-hal yang dimasukkan dalam berita adalah fakta, kepentingan public dan kebenaran.