(Dardjowidjojo, Soenjono dan Unika Atma Jaya. 2003. PSIKOLINGUISTIK: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)
Bab ini membahas bagaimana manusia dapat memahami kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana yang didengar. Bagaimana komprehensi (pembentukan makna dari bunyi) dalam sebuah kalimat yang kita ucapkan. Dari sudut pandang ilmu psikolinguistik, ada dua macam komoprehensi (Clark & Clark 1977).yaitu:
1. Komprehensi yang berkaitan dengan pemahaman atas ujaran yang kita dengar.
2. Komprehensi yang berkaitan dengan tindakan yang perlu kita lakukan setelah ujaran itu kita dengar.
Untuk memahami makna suatu ujaran (kata, frasa, klausa, kalimat, wacana), ada beberapa hal pokok yang prlu kita ketahui. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Struktur lahir dan struktur batin dari suatru ujaran
Pada struktur lahir dan batin ini kita diajarkan bagaimana kita memahami makna suatu ujaran bukan hanya dari segi pemukaan yang kita lihat atau urutan kata yang terdapat pada ujaran tersebut atau ciri-ciri tertentu masing-masing kata (struktur lahir), tetapi kita diajarkan juga bagaimana kita dapat memahami makna ujaran dari segi representasi yang mendasarinya atau kerumitannya yang terkesan menjadi sebuah kalimat yang ambigu (struktur batin).
Pada struktur lahir sebuah ujaran kita dapat mengambil contoh berikut agar dapat memahaminya.
Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis.
Kalimat tersebut dapat kita pahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat oleh kita. Siapa pun yang mendengar kalimat ini akan memberi interpretasi yang sama, yakni, adanya seorang lelaki, lelaki itu sudah tua, dia senang bermain sesuatu, dan sesuatu itu adalah tenis. Sedangkan kehadiran pemahaman pada struktur batin pada sebuah ujaran dapat kita lihat pada contoh berikut.
Lelaki dan wanita tua itu masih dapat bermain tenis.
Ternyata kehadiran frasa lelaki dan wanita tua itu menjadikan ujaran tersebut terkesan ambigu. Kita dapat memaknainya sebagai sebuah kalimat yang rumit. Kita tidak yakin apakah lelaki itu juga tua seperti wanita atau hanyha wanitanya saja yang tua. Interpretasi ini muncul karena adjektiva tua dapat berfungsi sebagai pewatas hanya pada nomina wanita saja atau pada frasa lelaki dan wanita. Jadi, dalam memahami sebuah ujaran kita perlu memahami makna struktur lahir dan makna struktur batin dari ujaran tersebut.
2. Proposisi
Pada proposisi ini yang dibahas adalah unit-unit makna pada kalimat. Proposisi ini terbagi menjadi dua bagian senagai berikut:
1. Argument (hal-hal yang dibicarakan), dan
2. Predikasi (pernyataan yang dibuang mengenai argumen).
Pengertian mengenai preposisi ini penting untuk komprehensi karena yang kita fahami dari suatu kalimat sebenarnya adalah proposisi-proposisi. Seorang pendengar menerima masukan berupa rentetan-rentetan kata yang disusun secara hierarkis. Begitu kita mendengar sebuah kata, proses mental kita mulai bekerja dengan membangun makna pada kata ini dengan memanfaatkan fitur-fitur pada kata ini. Hal tersebut dapat kita liikut.hat pada contoh berikut.
Preman tua itu mencuri sepeda saya.
Pada saat kkita mendengar kata preman munturcullah dalam benak kita fitur-fitur semantic [+ manusia], [+ jantan], [+perilaku negatif], dan sebaginya. Kata tua menambahkan fitur [+ berumur lanjut], dan itu menambahkan lagi fitur [+ definit] (dan bukan [+ genetik]). Pengurutan kata preman kemudian tua, dan kemudian itu (dan bukan prema lalu itu, dan kemudian tua)membentuk suatu hierarki proposisi pada tataran frasa yang menyatakan bahwa lelaki tersebut adalah preman yang telah berumur lanjut, dan orang itu adalah orang yang telah kita ketahui identitasnya.
3. Konstituen sebagai realita psikologis
Pada bagian ini yang dibahas secara detail adalah apakah betul dengan adanya pembagian kalimat secara konstituen memiliki realitas psikologis atau hanyalah merupakan suatu cara oleh linguis untuk memotong-motong kalimat? Ternyata konstituen bukanlah hanya ssekedar pemotongan kalimat yang sifatnya arbiter saja, melainkan kekeliruan sedikit saja dalam melakukan pemotongan kata maka akan mempengaruhi pendengaran dan mengganggu komprehensi karena pada dasrnya konstituen mempunyai landasan psikologis maupun sintaksis yang kuat. Hal tersebut dapat kita lihat pada tiga hal berikut;
1. Konstituen merupakan satu kesatuan yang utuh secara konseptual.
Contoh: Preman tua itu mencuri sepeda saya.
Frasa nomina pada preman tua itu memiliki makna konseptual yang utuh karena frasa ini dapat digantikan dengan konstituen lain yang hanya terdiri atas satu kata, misalnya, Alex atau dia.
2. Pemotongan kelompok kata akan mempengaruhi komprehensi kita.
Contoh:
a. Kaidah-kaidah/ penyakit ini memang/ sukar. Para/ mahasiswa sering kurang/ dapat menggunakan kaidah/ ini dengan sempurna. kaidah/ yang tersulit/ adalah kaidah rekaan. Perbedaan/ derajat kesukaran dalam/ pengamalan kaidah….
b. Kaidah-kaidah penyakit ini/ memang sukar//. Para mahasiswa/ sering kurang dapat menggunakan/ kaidah ini dengan sempurna//. Kaidah yang tersulit/ adalah/ kaidah rekaan//. Perbedaan derajat kesukaran/ dalam pengamalan kaidah….
3. yang tersimpan dalam memori bukanlah kata-kata yang terlepas dari konstituennya, tetapi kesatuan makna dari masing-mansing konstituen. Contoh : Preman tua itu mencuri sepeda saya. Yang tersimpan dalam memori kita pastilah preman itu dengan atribut ketuaannya. Untuk sepeda, kepemilikan dari sepeda itulah yang akan tersimpan, yakni, bahwa sepeda itu milik saya.
4. Strategi dalam memahami ujaran
Strategi-strategi yang digunakan dalam memahami ujaran, adalah
1. Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita dengar, proses mental kita akan mulai mencari kata lain yang selaras dengan kata pertama dalam konstituen tersebut. Contoh : jika kata pertama yang kita dengar adalah orang, maka kita mencari kata lain yang secara sintaksis bisa berkolokasi dengan kata tersebut, seperti tua, besar, bodoh, atau itu. Karena kata orang hampir selalu diikuti oleh sesuatu yang lain untuk menjadi suatu konstituen.
2. Setelah memndengar kata pertama dalam suatu konstituen, perhatikan apakah kata berikutnya mengakhiri konstruksi itu. Seandainya setelah kata orang muncullah kata yang, maka kita berkesimpulan bahwa konstruksi orang yang tidak mungkin membentuk suatu konstituen, karena kata yang pastilah membentuk anak kalimat. Maka kita mengharapkan munculnya anak kalimat itu agar menjadi suatu FN yang baik. Misalnya orang yang mencari kamu.
3. Setelah kita mendengar suatu verba, carilah jenis argumen yang selaras dengan verba tersebut. Jika verba yang kita dengar adalah verba memukul maka kta pasti mengharapkan adanya suatu argumen, yakni benda atau makhluk yang di pukul. Misalnya dia memukul meja.
5. Ambiguitas
a. Macam Ambiguitas
Dilihat dari segi unsur leksikal dan struktur kalimatnya, ambiguitas dapat dibagi menjadi dua macam, yakni ambiguitas leksikal dan ambiguitas gramatikal.
1. Ambiguitas leksikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk leksikal yang dipakai. Contoh: ini bisa. Dari kalimat tersebut kita tidak tahu apakah bisa di sini berarti racun atau sebagai sinonim dari kata dapat.
2. Ambiguitas gramatikal adalahmacam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk struktur kalimat yang dipakai. Contoh: pengusaha wanita itu kaya. Kalimat tersebut ambigu karena pengusaha wanita bisa berarti pengusaha yang berjenis kelamin wanita atau pengusaha yang mendagangkan wanita. Ambiguitas ini muncul semata-mata karena urutan katanya atau struktur kalimatnya. Bila dibalik, hal itu tidak akan terjadi. Ambiguitas gramatikal dibagi menjadi dua, yakni ambiguitas sementara yaitu fungsi sintaksis suatu bentuk leksikal berstatus ambigu sampai pada suatu saat di mana kita memperolah kata tambahan yang memudari ambiguitas itu. Yang kedua yakni ambiguitas abadi yaitu, kalimatnya masih tetap ambigu meskipun kita sudah sampai pada kata terakhir.
b. Teori pemrosesan kalimat ambigu
Ada dua macam teori mengenai pemrosesan kalimat yang bermakna ganda.
1. Garden path theory (GPT), yakni orang membangun makan berdasarkan pengetahuan sintaksis. Ada dua prinsip dalam teori ini. Yang pertama Minimal Attachment Principle (MAP) dan Late Closure Principle (LCP).
2. Teori Constraint Satisfaction Theory. Model-model dalam teori ini mengikuti kaum koneksionis yang menyatakan bahwa unit-unit pemrosesan awal memiliki kendala daya asosiatif yang berbeda-beda.
6. Penyimpanan kata
Penyimpanan kata dapat kita contohkan dengan ditunjukkannya sebuah benda yang biasa dipakai untuk menulis dan dalam benda itu terdapat tinta yang kemudian meninggalkan bekas pada lain yang kita tulisi, maka tanpa berpikir kita akan berkata “pena”. Kita katakana tanpa berpikir karena proses retrifal kata itu berjalan begitu cepat sepertinya otomatis keluar begitu saja. Begitu juga bila kita bertindak sebagai pendengar, kita dapat memahaminya seolah-olah tanpa berpikir padahal prosesnya sangatlah panjang dan kompleks. Pertama, kita harus dapat terlebih dahulu menentukan apakah empat bunyi yang kita dengar itu,/p/e/n/a/, adalah kata dalam bahasa kita. Penentuan ini didasarkan pada kompetensi kita sebagai penutur bahasa Indonesia yang secara intuitif tahu bahwa urutan bunyi seperti itu memang mengikuti kaidah fonotatif bahasa kita atau tidak. Artinya, apakah urutan bunyi seperti dicontohkan membentuk wujud yang “pantas” dalam bahasa kita.
Kedua, kita harus mengumpulkan fitur-fitur apa yang secara alami melekat pada benda itu : bentuk fisiknya, ukurannya, fungsinya, warnanya, dan sebagainya. Kita memiliki gambaran mengenai objek di dunia ini.Ketiga, kita harus membandingkan dengan benda-benda lain yang fitur-fiturnya tumpang tindih. Dengan fitur-fitur ini, misalnya pensil, kapur, spidol, dan marker. Pena dan pensil, misalnya memiliki bentuk fisik yang mirip dan fungsinya pun boleh dikatakan sama yakni untuk menulis. Namun ada fitur lain yang membuat kedu benda ini berbeda, yang satu mudah dihapu, yang lainnya tidak dan seterusnya.
Keempat, kita harus memilih di antara benda-benda yang sama itu mana yang memenuhi semua syarat. Proses ini tentunya makan waktu karena untuk mencapai kata yang kita inginkan harus dilakukan dengan proses eliminasi. Pensil memenuhi banyak syarat, tetapi wujud fisik tulisannya bukan dari tinta. Spidol juga memenuhi banyak syarat, tetapi wujud fisik benda ini dan hasil tulisannya juga berbeda, dan seterusnya.
Dari gambaran di atas tampak bahwa proses untuk meretrif (retrief) kata, baik sebagai pembicara maupun sebagai pendengar, bukanlah hal yang sederhana. Yang menerik untuk dikaji adalah bagiamana kata itu disimpan dalam benak kita sehingga kita dapat menemukan kata yang kita perlukan.
a. Faktor yang mempengaruhi akses terhadap kata
Pada dasarnya retrifal kata dipengaruhi oleh berbagai factor. Pertama, frekuensi kata yakni makin sering suatu kata dipakai makin cepatlah kita dapat memanggilnya pada saat kita memerlukannya. Kata-kata seperti mengharapkan atau menutup memiliki frekuensi yang lebih tinggi daripada memalarkan atau memalah, orang bahkan ada yang tidak mengerti apa makna kedua kata terakhir ini.
Factor kedua adalah ketergambaran suatu kata yang dapat dengan mudah digambarkan atau dibayangkan akan lebih mudah dimenegrti dan diingat. Kata-kata konkrit, misalnya lebih mudah diingat daripada kata-kata abstrak.
Factor ketiga adalah keterkaitan semantic. Kata tertentu membawa keterkaitan makna yang lebih dekat kepada kata tertentu yang lain dan bukan kepada kata tertentu yang lainnya lagi. Kalau kita diberi kata besar, maka tidak mustahil kita dapat dengan cepat meretrif kata kecil. Begitupula kalau kita diberi kata burung, kita mungkin saja akan cepat mengasosiasikannya dengan beo atau perkutut.
Factor keempat adalah kategori gramatikal. Ada kecenderungan bahwa kata disimpan berdasarkan kategori sintaksisnya. Hal ini terlihat dari kilir lidah yang selalu terwujud dalam kategori sintaksis yang sama.
Factor kelima adalah factor fonologi. Morfem yang bunyinya sama atau mirip disimpan pada tempat-tempat yang berdekatan. Hal ini terbukti pada gejala “lupa-lupa ingat” (tip of the tongue).
b. Teori tentang makna
Bagaimana orang memahami makna kata, diajukan dua teori, yakni teori fitur dan teori berdasar pengetahuan.
Teori fitur pada dasarnya menyatakan bahwa kata memiliki seperangkat fitur, atau ciri yang menjadi bagian integral dari kata itu. Kata anjing,misalnya memiliki fitur [+bernyawa], [+binatang], [+warna(biasa hitam, coklat, putih, belang-belang)], [+kaki empat], [+telinga dua], [+ekor satu], [+ukuran badan], [+suara guk-guk], dan seterusnya. Fitur-fitur inilah yang secara keseluruhan membentuk konsep yang dinamakan anjing.
Teori berdasar pengetahuan (knowledge-based the theory). Teori ini masih bersandar pada teori gitur, tetapi diperluas. Dalam teori ini tidak hanya fitur yang dilihat tetapi juga esensi dan konteksnya. Manusia tidak hanya menyerap fitur-fitur itu tetapi juga melihat esensinya. Kucing, misalnya memang memiliki fitur [+kaki empat], tetapi tidak mustahil, bahwa ada kucing yang karena kegagalan genetic hanya mempunyai tiga kaki. Begitu juga kalau satudu kakinya patah, dia akan terus hidup dengan tiga kaki. Binatang ini akan tetap kita anggap sebagai kucing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar