Pendidikan Kewartawanan
Tidak semua orang bisa menjadi wartawan. Dalam salah satu artikel dikatakan bahwa journalis must be made, artinya, wartawan harus diciptakan dan dibangun. Wartawan bukan berdasar hanya karena adanya bakat menulis atau memiliki kepandaian dalam hal menulis, meskipun itu juga menjadi salah satu kompentensi yang harus dikuasai untuk bisa menjadi seorang wartawan. Wartawan harus memiliki sebuah lembaga pendidikan tertentu. Lembaga tersebut dinamakan lembaga pendidikan jurnalistik. Lembaga ini diadakan dan dibanguan dengan tujuan yang jelas, yakni untuk memperkaya wawasan dan membekali keterampilan seorang wartawan ketika ia menggunakan media yang semakin canggih.
Wartawan harus berwawasan luas agar tulisan pemberitaan jelas, jernih, dan mengandung cakrawala yang juga luas. Bebas dari polusi ketidakjujuran yang bias membuat masyarakat menjadi skeptis. Kebijakan pemberitaan yang ditentukan oleh seorang redaktur tidak sembarangan diterbitkan. Setiap kejadian yang terjadi di masyarakat yang diolah menjadi informasi actual, harus dijaga agar tidak gampang menurunkan nilai dan derajat masyarakat itu sendiri. Sebab, menurut George Bastian, wartawan adalah Pembina masyarakat.
Pada akhir abad XIX dan pada awal abad XX, sejumlah ilmuwan sudah memperdebatkan apa ukuran jurnalisme yang bermutu. Namun dapat dikatakan bahwa diskusi tersebut tidak menemui titik terang. Mereka terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu yang berpendapat bahwa wartawan membutuhkan sebuah sekolah jurnalistik (Pulitzer yang memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism pada tahun 1902) dan kubu yang berpendapat bahwa wartawan tidak memerlukan sekolah secara khusus namun belajar dari berbagai disiplin ilmu (orang-orang dari Universitas Harvard yang mendirikan Nieman Foundation on Journalism pada tahun 1939).
Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, pada tahun 1990 mencoba untuk memperkenalkan empat macam kompetensi yang diperlukan seorang wartawan agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Empat kompetensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi professional, misalnya melakukan editing, seleksi informasi, memahami komunikasi dasar dan sebagainya.
2. Kompetensi transfer, misalnya penguasaan bahasa , presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalismme dan sebagainya.
3. Kompetensi teknis, misalnya mampu mengoperasikan komputer, internet, desain grafis, dan sebagainya.
4. Kompetensi tingkat lanjut, misalnya pengetahuan terhadap isu tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan sebagainya.
Posisi organisasi profesi PWI atau oraganisasi kewartawananyang ada di Indonesia harus berpikir dan berbuat positif bersama pemerintah. Antara lain harus tepat dan sangat strategis dalam membangun dan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan jurnalistik. Paling tidak pendirian sekolah wartawan menjadi kebutuhan dalam pencerdasan jurnalistik. Perencanaan pembangunan tersebut dapat dipercayakan kepada tokoh-tokoh pers dan tokoh wartawan sedangkan untuk pengadaan kurikulum dan tenaga pendidik, tentu saja melibatkan sosok pendidik yang memiliki pengetahuan praktis dan memiliki ilmu jurnalistik.
Perkembangan pendidikan jurnalisme banyak mengalami hambatan di Indonesia. Menurut Thomas Hanitzch, seorang kandidat PhD dari Universitas Ilmenau Jerman, terdapat beberapa faktor yang menghambat pendidikan jurnalisme di Indonesia. Yang pertama, pendidikan jurnalisme dihambat oleh apa yang disebut kurikulum nasional. Yang kedua, tidak adanya interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. Sekolah jurnalis memiliki dunianya sendiri, sedangkan industri media berada pada dunia yang lainnya. Ketiga, semua sekolah tidak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Bayak yang tidak memiliki fasilitas internet maupun desain grafis. Kebanyakan dosen mengajarkan penegtahuan komunikasi plus mata kuliah seperti pencasila dan sebagainya. Dan yang terakhir, tidak tersebarnya keberadaan sekolah jurnalistik yang ada di Indonesia. Terdapat 69 sekolah jurnalsime, tetapi 80% berada di pulau Jawa dan Medan.
Hambatan lain seperti yang disebutkan oleh Hanitzch, kebanyakan sekolah menekankan kurikulum pada pengetahuan tentang komunikasi namun kemampuan praktis, seperti menulis, tidak diajarkan. Sekolah-sekolah tersebut tidak memberikan kesempatan kepada peserta didik mereka untuk terjun langsung ke lapangan dan meliput berita kemudian merasakan ruang redaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar