Mari Berbagi Pengetahuan di Sini

Senin, 19 Desember 2011

Cerpen: AKU DI SINI


 Oleh: Ika Sartika

     Hari masih belum pagi benar. Lembayung malu-malu mengintip dari balik tirai kabut dan sela pepohonan yang menaungi kampus Buma Tridharma Unhalu. Jarak pandang mata pun belum begitu stabil. Seratus meter ke depan yang kulihat hanyalah kabut putih yang bila ku hirup menyebabkan kepalaku agak pening. Entah apa penyebabnya, mungkin kandungan air yang ada di kabut itu. Gedung-gedung fakultas yang kulalui belum menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Semua masih terlelap dibuai mimpi, terbungkus selimut putih yang dinamai kabut.
    Biasanya, akhir minggu seperti ini banyak mahasiswa-mahasiswi yang memanfaatkan waktu mereka untuk berlari-lari pagi di ruas-ruas jalan kampus. Tapi pagi ini, hanya kutemui  dua tiga orang tadi. Berpapasan atau saling mendahului tanpa melempar senyum atau bertegur sapa sekedar basa-basi selamat pagi.  Sudah menjadi ssebuah hal yang lumrah bila mereka atau aku tak salaing menyapa, itu karena kami tak saling mengenal.kebanyakan mahasiswa yang berlar-lari pagi berasal dari Pendidikan Penjaskesrek yang rata-rata cowok, sedangkan aku dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, meski kami masih satu fakultas.
    Tiba di persimpangan jalan, aku berhenti dari langkah pelanku. Memang sedari tadi aku tak berlari, hanya sekedar jalan untuk meluruskan urat-urat tubuhku yang kurasa menegang akhir-akhir ini. Bagaimana tdak, minggu ini adalah masa-masa ujian akhir semester, otomatis aktivitas belajar kami meningkat dari biasanya. Ditambah dengan banyaknya tugas yang harus diselesaikan sebelum pergantian bulan. Belum lagi kerusuhan yang mewarnai kampus minggu lalu yang entah apa juntrungannya. Kami tak tahu, tapi itu cukup kuat untuk memberi kami terapi batin yang mampu menaikkan urat-urat saraf sampai mendekati batas maksimal. Stress.
    Kuambil ponsel dari saku celana olahragaku. Ponsel hitam yang terlilit headshet putih, tersambung di kedua telingku, memperdengarkan lantunan lagu-lagu yang cukup sebagai pemberi semangat dari salah astu stasiun radio favoritku.

    “Apapun yang terjadi, ku kan selalu ada untukmu, janganlah kau bersedih, coz everything gonna be oke” lagu milik Bondan Prakoso yang akhir-akhir inisering kali diputar di radio-radio. Aku menyukainya. Nadanya asyik dan liriknya penuh makna.
    Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 06.15. kabut mulai tersingkap. Kembali kulangkahkan kaki. Tujuanku kini adalah tugu Unhalu. Berdiri setegak Monas, tapi tak setinggi dan sekinclong maskot kota Jakarta itu.
    Ada kolam kecil yang mengelilingi kaki tugu itu. Kolam yang jauh dari kesan bersih, seakan ingin mengatakan bahwa ia tak pernah dijamah oleh tangan-tangan tukang kebun Unhalu. Juga daki yang melekat ditubuhnya, menandakan bahwa telah sekian lama ia tak mengalami perubahan warna. Ah, tugu yang katanya jadi maskot itu terabaikan. Para petinggi Unhalu lebih senang mengaduk-ngaduk kertas proposal untuk berbagai kegiatan daripada merias wajah Unhalu.
    Kupilih untuk duduk di pelataran tugu. Mengamati segenap aktivitas pagi yang mulai terasa hidup. Sudah ada mobil pete-pete yang lewat dikemudikan oleh, mungkin seorang ayah yang mencari nafkah untuk anaknya, mungkin pula pemuda yang mencari uang makan, atau tidak menutup kemungkinan ia adalah seorang mahasiswa yang tak ingin merepotkan orang tua dengan mencari uang jajan tambahan. Tak seperti aku yang tak bisa lepas dari “gaji bulanan” dari orang tua.
    Matahari kini memancarkan sinar paginya di atas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Memberi penerangan bagi masyarakat intelektual yang haus ilmu. Menyingkap kabut yang pelan-pelan harus mengucap sampai jumpa pada daun yang telah dibasahinya. Sinarnya membuatku silau. Tak sanggup aku menatapnya lama-lama. Tak seperti bulan yang bersinar di malam hari, sinar terangnya lembt tertumpah di setiap mata yang memandangnya.
    Kualihkan pandanganku. Kumenoleh ke kiri. Tersuguhkan di depan mataku, kemegahan gedung rektorat Universitas Halu Oleo. Gedung yang dua tahun lalu menjadi sasaran amukan para polisi dan satpol pp kota Kendari.
    Masih segar diingatanku, ketika dua tahun silam aku duduk manis di sofa ruang keluarga, menonton berita tentang kerusuhan yang etrjadi di Unhalu. Universitas yang katanya terluas di Indonesia Timur. Ada rasa prihati yang terselip  menyaksiran aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung, malah memukul dan melempari gedung rektorat. Dalam imajinasiku dapat kudengar kembali suara retak kaca yang dilempari batu. Hancur lebur ketika menyentuh tembok keras, sekeras ego para mahasiswa demonstran yang merusak kantor polisi dan gedung DPRD.
    Ketika universitas lain sibuk mempromosikan diri melalui brosur-brosur yang disebar di sekolah-sekolah, Unhalu justru mempertontonkan aksi anarkismenya. Memamerkan samurai panjang, balok-balok kayu, juga panah dan busur sebagai ucapan selamat datang. Membuat para calon mahasiswa baru yang ingin mendaftar di sana untuk berpikir dua kali.
    Sebagai salah satu murid lulusan SMA yang bingung untuk memutuskan kuliah di mana, aku rajin mencari informasi tentang sejumlah universitas. Maka ketika paginya kusaksikan kerusuhan Unhalu di televisi, sore harinya kudatangi warnet langgananku. Meski waktu itu aku tinggal di salah satu sudut terpencil kota Makasar, tapi jaringan internet telah menjangkau daerah kami. Memudahkanku menegrjakan tugas dan ber-email ria.
    Segera kuketik ‘Universitas Halu Oleo’ di kolom google search, kemudian kutekan enter. Dan dapat kubaca semua hal tentang Unhalu mulai dari sejarah berdirinya, riwayat namanya, perkembangannya, sampai pada peningkatan jumlah mahasiswa baru dari tahun ketahun. Juga biodata para mantan rektor dan rektor unhalu saat ini. Bahwa nama Halu Oleo yang artinya delapan, di ambil dari perjuangan seorang pahlawwan yang bertempur selama delapan hari delapan malam. Bahwa di Unhalu berkumpul mahasiswa-mahasiswa dari berbagai berbagai daerah dan dari suku dan adat istiadat yang berlainan. Semua kuketahui sore itu. Dari segala hal yang kubaca maka kusimpulkan sore itu juga bahwa Unhalu adalah miniatur Indonesia.
    Enam tahun lamanya aku tinggal bersama paman dan bibiku di Makasar. Muali dari kelas satu SMP hingga lulus SMA, tak pernah kulihat mereka seshock itu. Saat kukatakan keinginanku ke Kendari, melanjutka kuliah di Universitas yang kata pamanku sarang preman. Selain terkejut, aku tahu mereka pun bingung. Setahu mereka, aku telah mendapatkan satu bangku untuk kuliah di Fakultas Sastra Unhas. Tapi tidak. Tawaran ujian bebas tesdari pihak SMAku kuabaikan, padahal mereka menjamin kelulusanku. Entah mengapa aku tak tertarik sama sekali. Dan kupikir, bila kuliah di Unhas, aku akan tetap tinggal di Makasar. Aku tak ingin itu. Aku jenuh dan menginginkan adanya perubahan suasana.
    Maka kukabari orangtuaku yang memang sudah tinggal di Kendari, tapi di kabupaten Konawe Selatan. Kukatakan bahwa aku ingin kuliah di sana, di Universitas Halu Oleo. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tidak berkata iya, pun tidak berkata tidak.
    “Kamu yang akan menjalani kuliah, maka kamu yang berhak untuk memilih kuliah dimana. Satu saja yang ibu minta, dimana pun kamu kuliah, kamu harus bertanggung jawab atas pilihanmu dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh”
    Ku anggap itu sebagai lampu hijau, maka kuminta ibuku untuk berbicara pada paman dan bibiku, agar mereka memberikan izin. Kemudian kutambahkan alasan bahwa aku ingin berada dekat dengan kedua oranguaku. Sudah terlalu lama aku hidup berjauhan dengan mereka.
    Dua hari kemudian aku telah berada di Kendari. Menumpang untuk sementara di rumah kerabat dekat. Ternyata ibuku antusias menguliahkanku di sini. Buktinya, tiba  di Kendari aku tinggal menandatangani formulir pendaftaran. Semua telah disiapkan sebelumnya, di isi dan aku tinggal menyetujui. Ah, terima kasih ibu, kau mempermudah semuanya.
    Dua tahun sudah kujalani aktivitas kuliah di Universitas ini. Kampus Bumi Tridharma yang luas dan hijau. Sempat terbersit rasa kecewa ketika aku tak diterima di pilihan pertamaku. Tapi it tak bertahan lama. Di pilihan keduaku, Proram Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kutemukan teman-teman yang begitu menyenangkan, kompak dan penuh rasa persaudaraan. Juga begitu banyak pengalaman yang kemungkinan besar tak kudapat bila aku kuliah di jurusan lain atau di tempat lain.
    Getar ponsel di saku celanaku, diiringi lagu Akon Right Now, menghempaskanku kembali ke pelataran tugu Universitasku ini. 1 message receive, begitu kalimat yang tertera di layar ponselku. Kubaca pesannya, ternyata sebuah ucapan selamat pagi disertai dengan simbol smile berwarna kuning di akhir kalimatnya. Tersenyum aku membaca pesan itu. Mengingatkanku pada seseorang yang dua minggu lalu membangunkanku di tengah malam buta, pukul 02.00 malam, hanya untuk mengatakan bahwa ia menyayangiku. Sebuah persembahan lain dari Unhalu untukku. Mungkin sebagai ucapan terimakasihnya karena aku memilihnya. Ah, ngelantur aku pagi-pagi. Apalah artinya diriku bagi Universitas besar ini.
    Kulirik kembai ponsel yang masih kugenggam. Jam digitalnya menunjukkan pukul 07.15. sepertinya aku harus segera mengakhiri acara jlan pagiku. Segera kuberdiri dan kuregangkan otot-ototku kembali. Menengadah pada puncak tugu yang diselimuti sinar pagi. Memantulkan sebuah lambang yang sama dengan yang ada di jaket almamaterku. Dan disinilah aku, seorang mahasiswa transmigran, menyulam renda-renda harapan di balik pagar tembok Universitas Halu Oleo.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar