Oleh: Ika Sartika
Mahasiswa FKIP Universitas Halu Oleo
Kampus Bumi Tridharma, Jln. HEA Mokodompit 93212 Telp: 085296124846 Email: s.ika56@yahoo.com
Mahasiswa FKIP Universitas Halu Oleo
Kampus Bumi Tridharma, Jln. HEA Mokodompit 93212 Telp: 085296124846 Email: s.ika56@yahoo.com
Abstrak
Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Tetapi naskah drama memiliki bentuk sendiri yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan (Waluyo, 2003:2). Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas dihadapan penonton (audience). Dalam penelitian ini, peneliti akan menguraikan lebih mendalam tentang konflik yang terdapat dalam naskah drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani. Bahwa konflik di dalam drama berkedudukan sebagai unsur dasar cerita serta berfungsi antara lain sebagai unsur yang memiliki peranan utama dalam menghidupkan peristiwa-peristiwa yang membentuk alur, serta secara umum berfungsi pula sebagai penyampai cerita dijadikan sebagai landasan atau dasar dalam penelitian ini, yang kesemua itu akan diuraikan di bagian pembahasan.
Latar Belakang
Sastra adalah proses penciptaan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya berdasarkan sistem norma dan konvensi-konvensinya dengan menonjolkan aspek estetik. Menurut Horace, terdapat dua fungsi sastra yaitu “dulce” dan “utile”, yakni sebagai hiburan dan bermanfaat. Dua fungsi sastra tersebut melekat pada setiap karya sastra. Artinya, di samping berfungsi sebagai hiburan juga dapat bermanfaat. Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang bersifat indah dan dapat menimbulkan kesan yang indah pada jiwa pembaca. Oleh karena itu, salah satu ciri karya sastra adalah bersifat imajinatif, yaitu menimbulkan citra atau bayangan tertentu di dalam benak penikmatnya.
Menurut genrenya, karya sastra dapat dibagi menjadi tiga yakni, puisi, prosa (fiksi) dan drama. Dari ketiganya, drama merupakan genre yang unik. Drama tidak sekedar dibaca tetapi juga dipertontonkan. Sebagai tontonan, cerita drama dikatakan empheral, yaitu bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Sejauh ini, drama masih dikatakan berasal dari Yunani, draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, beraksi dan sebagainya. Istilah lain yang sama dengan drama adalah sandiwara (dari bahasa Jawa) yang maksudnya cerita rahasia. Cerita tersebut kemudian digolongkan menjadi salah satu genre sastra, yakni sastra yang bercerita.
Drama merupakan imitasi artistik kehidupan. Oleh karena itu, drama bukanlah kehidupan nyata. Drama merupakan upaya kreatif pengarang atau penulis naskah drama sebagai hasil interpretasi terhadap kehidupan nyata atau kehidupan yang ada dalam imajinasi pengarang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, drama berarti komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (acting) atau dialog yang dipentaskan.
Drama adalah cerita tentang konflik manusia, kita tidak bisa memahami sampai kita tahu kapan, mengapa, dan bagaimana konflik manusia. Drama adalah cerita dalam bentuk dialog, drama tidak lebih dari interpretasi kehidupan, drama adalah salah satu bentuk kesenian. Drama dirancang untuk penonton, drama bergantung pada komunikasi. Jika drama tidak komunikatif, maksud pengarang, pembangun respon emosional tidak akan sampai (Dietrich, 1953:4).
Mempelajari naskah drama dapat dilakukan dengan cara mempelajari dengan seksama kata-kata, ungkapan, kalimat atau pernyataan tertentu yang dipergunakan oleh pengarang dalam naskah drama yang ditulisnya. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa penonton mungkin tidak pernah membaca sendiri dialog dalam naskah. Mereka mendengar dialog yang diucapkan oleh aktor di panggung (Ghazali, 2001:2).
Berdasarkan beberapa teori tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa drama adalah sebuah lakon atau cerita berupa kisah kehidupan dalam dialog dan lakuan tokoh berisi konflik manusia. Drama sebagai karya sastra dapat dibedakan menurut dua penggolongan mendasar yaitu drama sebagai sastra lisan dan drama sebagai karya tulis. Sebagai sastra lisan drama adalah teater, sedang drama sebagai karya tulis adalah peranan naskah terhadap komunikasi drama itu sendiri. Dalam hal ini lebih ditekankan aspek pembaca drama daripada penonton, dan mengubah pendekatan yang beorientasi pada aktor ke pendekatan yang berorientasi terhadap naskah.
Menurut Tambajong (1981:23) dalam naskah drama sege-segi yang harus diperhatikan banyak sekali, mulai dari menata hubungan yang luas antara pengarang dengan kehidupan, pengarang dengan naskah, naskah dengan aktor, naskah dengan sutradara, pengarang dengan aktor, pengarang dengan sutradara, naskah dengan kemungkinan dipentaskan, aktor dengan aktor, aktor dengan penonton, naskah dengan penonton, dan seterusnya.
Dipilihnya penelitian tentang konflik dalam naskah drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani disebabkan oleh beberapa hal, yakni :
Yang pertama dari segi pengarangnya, Utuy Tatang Sontani. Salah seorang pengarang angkatan 1945 yang mula-mula terkenal melalui romannya “Tambera” dan cerita-cerita pendeknya yang dikumpulkan dalam “Orang-Orang Sial”. Tetapi kemudian lebih dikenal dengan lakon-lakonnya. Pada awal tahun 1960-an, beliau tergabung dalam Lekra/PKI yang menurut Ajip Rosidi, peristiwa tersebut merupakan “belokan tajam” dalam perjalanan hidupnya. Sebab sebelum itu, dalam drama-dramanya ia sangat menonjolkan sifat individualistis yang tidak sesuai dengan paham Lekra. Dramanya Sayang Ada Orang Lain, misalnya menampilkan tragedi yang terjadi karena adanya campur tangan orang lain ke dalam kehidupan rumah tangga seseorang. Puncak individualsme dalam drama Utuy, terdapat dalam Sang Kuriang. Dalam drama yang diubah menjadi liberto ini, mitologi Sunda mendapat sorotan baru yang individualistis.
Yang kedua, kenyataan bahwa drama Bunga Rumah Makan merupakan salah satu drama karya Utuy yang menjadi titik tolak pergantian genre sastra yang digelutinya, dari roman dan cerita-cerita pendek kelakuan atau drama-drama yang unik.
Yang ketiga, dalam penelitian-penelitian karya sastra sebelumnya, penelitian tentang naskah drama terbilang sedikit jika dibandingkan dengan penilitian tentang prosa dan puisi, khususnya penelitian yang membahas secara lebih dalam tentang konflik dalam naskah drama. Penelitian tentang naskah drama sebelumnya antara lain : potensi dramatik dalam naskah drama, ciri atavisme dalam naskah drama, hubungan tema dalam naskah drama. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan sebagai syarat untuk kelulusan ujian Mata Kuliah Kajian Drama pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Cakupan Masalah
Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Tetapi naskah drama memiliki bentuk sendiri yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan (Waluyo, 2003:2). Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas dihadapan penonton (audience).
Drama merupakan sebuah karya sastra atau sebuah komposisi yang melukiskan kehidupan dan perilaku manusia dalam bentuk dialog untuk dipentaskan. Sementara kaidah dasar drama sebagai karya sastra adalah sebagai berikut : (1), dasar drama adalah konflik atau pertentangan antara tokoh/unsur lainnya yang memiliki kekuatan, konflik tersebut akan mewarnai setiap bagian yang ada dalam sebuah cerita drama, (2), dasar dari konflik adalah motif, motif adalah alasan atau penyebab munculnya konflik yang terjadi, (3), apa yang menggerakkan konflik, bagaimana konflik bergerak, dan bagaimana efek-efek dari konflik tergantung pada jenis dan fungsi setiap unit motivasional, (4), setiap unit motivasional dipengaruhi oleh unit yang hadir sebelumnya dan sesudahnya, (5), menafsirkan suatu unit bisa mempengaruhi semua makna keseluruhan permainan.
Pembahasan mengenai konflik dalam naskah drama adalah: (1) mengidentifikasi jenis unit motivasional sebagai indikasi sebab munculnya konflik, (2) mengidentifikasi fungsi unit motivasional sebagai indikasi bergeraknya alur dan efek dari konflik, (3) mengidentifikasi hubungan antara unit motivasional untuk mendapatkan kandungan makna dan maksud pengarang yang mengacu pada permasalan kemanusiaan yang bersumber pada tabiat kehidupan manusia.
Dari beberapa uraian tersebut, peneliti akan membatasi masalah yang akan diteliti. Penelitian ini akan membahas konflik sebagai dasar atau esensi dalam sebuah naskah drama, melalui analisis unit motivasional, karna motif merupakan dasar dari konflik.
Pembahasan
Konflik merupakan esensi dari sebuah drama. Dengan demikian, drama pasa dasarnya merupakan pencerminan kehidupan di masyarakat, yang berisi tentang pertentangan-pertentangan baik fisik maupun psikis. Pertentangan-pertentangan tersebut saling membentur sehingga membentuk rangkaian peristiwa yang menjadi padu dalam lakon tersebut (Ghazali, 2001:13) drama yang baik biasanya konfliknya selalu terkait dengan tema dan alur, maksudnya adalah temanya selalu terjalin di dalam alur yang kuat dan alurnya selalu dapat menarik perhatian karena tersusun dari jalinan konflik-konflik yang matang dan terarah serta tersebar secara merata dalam setiap bagian-bagian alur tersebut.
Dengan demikian yang dimaksud konflik dalam naskah drama adalah satu komplikasi yang bergerak pada satu klimaks atau bagian alur yang menggambarkan pertentangan-pertentangan yang terjadi diluar tokoh yang dimaksudkan sebagai penggambaran yang diberikan oleh pengarang agar pembaca menduga-duga perkembangan cerita selanjutnya.
Konflik bagi drama merupakan bagian yang amat penting. Konflik berfungsi sebagai penyebab munculnya situasi dramatik yang menggerakan cerita. Konflik juga berfungsi sebagai penyampai tema. Ada hubungan langsung antara tema dan alur dalam drama. Alur yang digariskan haruslah menjabarkan tema. Alur terbentuk dari rangkaian situasi dramatik yang terjadi karena adanya konflik. Situasi-situasi tersebut selanjutnya akan membentuk konflik-konflik yang lebih besar itulah yang disebut tema.
Konflik yang berasal dari tingkah laku tokoh di dalam drama pada mulanya didorong oleh motif-motif tertentu. Motif adalah jumlah total kekuatan dinamis yang menyebabkan respon manusia. Motif adalah dasar dari action. Yang penting dari action itu sendiri adalah alasan untuk ber-action. Menurut Gallaway (1953:106) dengan menganalisis adegan berarti menganalisis tokoh dan motif tiap tokoh dalam adegan, karena aktor harus bergerak sesuai dengan motif.
Konflik seperti yang diungkapkan oleh Meredith dan Fitzgerald dalam Burhan Nurgiantoro, (2002:122) menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau yang di alami tokoh-tokoh cerita, yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya.
Ada berapa peristiwa dalam drama Bunga Rumah Makan yang mendatangkan konflik pada para tokohnya. Berikut akan disusun berdasarkan urutan logis dan kronologis.
Konflik yang pertama muncul dalam drama ini terdapat pada adegan kedua, dialog antara tokoh Ani dan tokoh Karnaen didorong oleh keinginan untuk mengubah posisi Ani sebagai pelayan di rumah makannya, menjadi istri dan pendamping hidupnya Karnaen pun mulai menunjukkan “sinyal-sinyal” akan keinginannya itu. Keinginan untuk memperistri inilah yang juga menjadi motif yang memicu timbulnya konflik. Karnaen mulai membicarakan tentang persoalan-persoalan rumah tangga dengan Ani. Tetapi Ani tetap pada pendiriannya bahwa ia belum memikirkan hal itu. Berikut ini kutipan dialognya.
Karnaen : “Ah dipagi hari begini tidak ada yang aneh . (melangkah mendekati ani). Dan daripada mendengar radio aku lebih suka mendengar engkeu menceritakan pendirianmu. Engkau lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, Ani?”
Ani : ( berdiam pelan-pelan menjauhi Karnaen). “Saya tidak mengatakan bahwa saya lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, mas. Tapi saya belum hendak memikirkan rumah tangga, sebab saya masih senang bekerja.”
Karnaen : “Tapi Ani, ketika dulu engkau kubawa kesini keinginanku bukan hanya melihat engkau menjadi wanita yang sungguh-sungguh wanita. Dan wanita yang kumaksud itu ialah wanita yang cakap mengurus rumah tangga.”
Ani : (terkulai menundukkan kepala). “Mas, saya tiada mempunyai perkataan untuk menyatakan terima kasih atas kebaikan budi mas, sudah membawa saya kesini. Tapi ketika saya datang kesini dulu, saya tiada ingin lebih jadi pelayan, jadi pegawai sebagaimana kesanggupan seorang miskin di dalam mencari sesuap nasi.”
Karnaen : (terdiam memalinglkan muka).
Keteguhan atas pendirian Ani ini, membuat Karnaen merasa diabaikan. Ditolak oleh pelayan yang dulu ia tolong, Karnaen merasa sakit hati. Hal ini tentu saja menghadirkan konflik tersendiri yang dirasakan Ani, pergolakan batin antara keinginan untuk tetap pada pendirian atau membalas jasa dengan menyambut uluran tangan Karnaen untuk segera menikah.
Konflik yang selanjutnya, terjadi pada adegan ke-6, dialog antara Ani dan Usman, seorang kyai, kawan Sudarma ayah Karnaen. Tokoh Usman dalam adegan 6 ini, secara implisit mewakili pemikiran dan tanggapan masyarakat tentang keberadaan Ani di rumah makan Sambara, sehubungan dengan keinginan Karnaen untuk memperistrinya. Berikut ini kutipan adegan 6 drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani secara penuh.
Usman : (masuk) “Mana tuan Sudarma, Ani?”
Ani : (mengendurkan suara radio). “Barusan pergi ke kantor pertemuan, paman.”
Usman : “Who, katanya dia akan menunggu akki di sini.”
Ani : “Ada juga pesannya kepada saya, supaya paman menyuruhnya ke kantor pertemuan.”
Usman : “Dia itu, lepas sebentar saja dari mata,sudah sukar dikejar.”
Ani : “Sejak dari mana paman mengejar dia?”
Usman : “Mulai dari rumahnya, kami berjalan bersama-sama. Tapi di tengah jalan, dia meninggalkan. Katanya mau menunggu aku di sini. Begitulah, mertuamu Ani!”
Ani : (berdiri) “Mertua saya?”
Usman : “Akan jadi mertuamu maksudku.”
Ani : “Tapi paman, dari mana datangnya anggapan itu?”
Usman : “Tidak dari mana-mana hanya menurut kepantasan saja dan kebiasaan dalam pergaulan hidup. Menurut kepantasan, siapa berani-berani mengatakan tidak pantas engkau jadi istri Karnaen. Menurut kebiasaan, engkau dan Karnaen sudah bergaul sudah rapat sekali, bukan?”
Ani : (menutup siaran radio).”Tapi paman....”
Usman : “Ah, pendapat orang tak usah kau bantah. Tapi betul,tadi tuan Sudarma menyuruh aku menyusul?”
Ani : “Ya.”
Apa yang diungkapkan tokoh Usman dalam dialog-dialognya ini tentu saja kembali memicu pergolakan batin dalam diri Ani. Sudah menjadi hal yang sangat berbahaya bila sebuah gosip atau isu telah beredar di masyarakat, maka cerita gosip tersebut akan bercabang beranting dan tidak menutup kemungkinan cerita tersebut telah berkembang jauh meninggalkan cerita aslinya. Pernyataan Usman “hanya menurut kepantasan saja dan kebiasaan dalam pergaulan hidup” secara implisit mewakili tanggapan masyarakat. Meski itu tak dinyatakan secara verbal dengan kata-kata dalam dialog.
Konflik yang selanjutnya dapat diidentifikasi oleh peneliti tedapat pada adegan 12 dialog antara Ani dan Rukayah, sahabatnya. Motif yang memicu timbulnya konflik ini adalah adanya perbedaan prinsip antara Ani dan Rukayah dalam hal perasaan. Ani berpendapat bahwa keinginannya untuk menyerahkan segenap jiwa dan raganya kepada Suherman, kekasihnya, adalah murni tanda cintanya pada kapten polisi itu. Rukayah berpendapat, jika perasaan itu belum disertai dengan pikiran maka itu hanya akan menbuat perempuan, dalam hal ini Ani ataupun Rukayah, dipandang rendah oleh laki-laki, umat yang umumnya memandang hidup dengan pikiran. Berikut ini kutipan dialognya :
Rukayah : “Ingin aku bertanya, apa kehendak menyerahkan jiwa dan raga kepada laki-laki itu menurut perasaan saja, atau juga menurut pikiran. Sebab menurut cinta itu baru benar, jika pikiran turut menghitungnya, tapi ini hanya pendapatku saja. Ani, pendapat seorang perempuan yang tak mau dipandang lebih rendah oleh laki-laki, oleh umat yang umumnya memandang hidup dengan pikiran. Kalau aku menghadapi laki-laki dengan perasaan saja, alamat akan celaka aku sebagai perempuan.”
Ani : “Jadi menurut engkau, laki-laki itu dianggap ....”
Rukayah : “Musuh tapi Kawan!”
Melalui penuturan Rukayah ini, tentu saja Ani kembali berpikir dua kali mengenai hubungannya dengan Suherman. Mengenai janji-janji Suherman yang katanya bukanlah janji kosong.
Konflik yang ada pada adegan 13 itu yaitu dialog antara Ani dan Iskandar adalah konflik yang merupakan pemicu meletusnya klimaks dalam drama ini. Perlu di ketahui bahwa Iskandar adalah seorang pemuda yang tak memiliki pekerjaan. Selalu datang ke rumah makan Sambara hanya untuk memperhatikan aktifitas Ani. Maka ketika kunjungan yang kesekian kalinya, Ani pun menegurnya. Berikut ini adalah kutipan dialognya :
Iskandar : (duduk di atas meja). “Ya, aku datang di sini bukan untuk belanja, tapi untuk menengok, melihat engkau.”
Ani : “Untuk menakutkan aku!”
Iskandar : (tersenyum pahit). “Terima kasih.”
Ani : “Apa terima kasih?”
Iskandar : “Karena aku kau takut. Aku tahu bagimu aku memang bukan seperti laki-laki yang banyak.”
Ani : “Ya, tidak seperti yang banyak,tidak tahu adat kesopanan, duduk bukan ditempatnya duduk.”
Tidak seperti konflik-konflik sebelumnya yang berupa konflik batin, konflik pada adegan 13 ini merupakan pertentangan atau konflik yang terjadi pada dua orang – Ani dan Iskandar – yang masing-masing saling mempertahankan ego dan pendapat masing-masing. Mereka saling menghina dan menjatuhkan sambil berusaha menyangkal apa yang dikatakan oleh lawannya. Ani merasa tersinggung ketika Iskandar mengatakan bahwa Ani sedang bersandiwara, mendagangkan kecantikan dan menipu para laki-laki agar mereka datang dan berbelanja di rumah makan Sambara. Berikut ini kutipan dialognya:
Ani : “Hak? Hak apa? memangnya aku ini kerabatmu yang boleh kau hina? Memangnya rumah makan ini rumahmu, tempat engkau berkata dan berbuat semuanya terhadap orang lain? Ya, aku tahu, engkau menaruh dendam kepadaku, sebab kau cinta padaku, tapi tak sanggup mengatasi laki-laki lain, lantaran engkau tidak bekerja, kecuali mondar-mandir mengukur jalan.”
Iskandar :(bangkit berdiri). “Apa? Aku cinta padamu? Hh, memangnya aku ini buta? Sangkamu aku suka melihat kecantikanmu? Bah! Apa arti wajahmu.”
Ani : “Lekas pergi! Tak sudi aku melihat mukamu. Dasar lancongan. Tak tahu adat. Gampang saja membuka mulut.”
Iskandar :”Engkau yang gampang membuka mulut memainkan bibir. Kau sangka bibirmu itu dipandang bagus oleh semua orang?”
Dari kutipan dialog tersebut dapat diidentifikasi pola pikir dan tingkah laku tokoh yang menjadi motif atau pemicu lahirnya klimaks. Ani berpikir bahwa Iskandar melakukan penghinaan terhadap dirinya lantaran Iskandar juga menaruh hati padanya layaknya Karnaen dan juga Suherman. Tapi karena tidak dapat bersaing dengan laki-laki lain, maka Iskandar meluapkan segala emosi dan perasaannya dengan menghina dan mencaci maki Ani sebagai pelampiasannya.
Kejadian atau peristiwa ini memicu klimaks yang terjadi pada adegan 19. Setelah membaca kembali naskah drama Bunga Rumah Makan ini, ditemukan kenyataan bahwa ada beberapa konflik yang menjadi pemicu meletusnya klimaks dari drama karya Utuy Tatang Sontani ini. Adegan 17 yaitu dialog antara Ani, Sudarma, dan Usman dididentifikasi sebagai salah satu pemicu lahirnya klimaks. Dalam adegan tersebut, Usman yang notabene adalah seorang kyai mengatakan bahwa penghinaan yang diterima Ani adalah salah satu akibat dari kondisi dan keadaan Ani yang belum menikah. Berikut ini kutipannya:
Usman :”Tapi begitulah selama engkau tidak kawin. Engkau akan selalu diganggu orang, akan selalu merasa tidak aman. Karena itu kunasehatkan supaya lekas saja kawin. Orang kawin nyata mendekati keselamatan, menjauhi kecelakaan. Tidak sia-sia Tuhan mengadakan aturan mesti kawin kepada umatnya.”
Pergolakan batin kemudian dialami kembali oleh Ani dalam adegan 17 ini. Sudarma, dalam hal ini bos Ani, mengatainya sakit rohani. Itu membuatnya sedih dan ia teringat kepada ayah dan ibunya. Masalah menimpanya secara bersamaan. Berikut ini kutipan dialognya:
Sudarma : “Itu berarti melalukan keuntungan. Sebab orang yang menelpon itu sudah pasti berurusan dagang.”
Ani : “Saya tadi sedang kacau ingatan.”
Sudarma : “Ah, kacau ingatan! Hanya yang sakit rohani, kacau ingatan.”
Ani : “Memang sudah biasa, kacau ingatan itu jadipenyakit orang yang belum kawin.”
Ani : (menyapu-nyapu mata)
Usman : “Mengapa engkau menangis An?” (menghampiri)
Ani : “Saya..... Saya ingat kepada nasib paman.”
Usman :”Tapi kenapa mendadak sekali?”
Ani :”Saya ini sendiri di dunia, tak ibu, tak bapak (sedih). Dan orang yang saya anggap tempat menumpangkan diri, ternyata tidak sayang.” (mengisak)
Konflik selanjutnya yang menjadi pemicu lahirnya klimaks yaitu konflik yang terjadi pada adegan 18. Kedatangan Suherman ke rumah makan Sambara tidak seperti yang ia pikirkan. Ia yang datang untuk menemui Aniterjebak dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Ia dirongrong oleh saran yang diberikan oleh Usman agar segera menikahi Ani jika memang ia mencintai Ani. Suherman tidak menyukai diperlakukan seperti ini. Ia merasa didikte dan dipandang rendah. Seperti anak kecil yang harus menelan segala yang disuapkan ke dalam mulutnya. Jengah dengan nasehat yang dianggapnya tidak perlu, Suherman meninggalkan rumah makan tersebut, juga meninggalkan pelayannya. Berikut ini kutipan dialognya:
Suherman : “Orang menyuruh saya kawin itu tidak memandang rendah, tidak menganggap saya ini orang tolol yang tidak tahu arti cinta kepada perempuan? Tidak, saya tidak merasa senang dengan perkataan saudara. Saya malah merasa tersinggung.”
Usman : “Saya juga tidak hendak menyuruh kawin.”
Suherman : “Habis? Sangka saudara, saya mencintai perempuan itu untuk kawin?”
Usman : “Maksud kami tidak begitu, tapi....”
Ani :“Sudah! Sudah! Saya tahu bahwa orang hanya suka kepada senyumanku, tidak suka kepada air mataku.” (menangis pergi ke belakang)
Suherman : “Betul-betul datang di sini saya sial.”
Sudarma : “Nanti dulu, tuan. Duduk-duduklah dulu. Minum kopi susu atau susu cokelat? Nanti Ani melayani tuan.”
Suherman : “Tidak. Saya tidak mau minum apa-apa dan tidak akan datang lagi di sini. Selamat tinggal!” (berjalan terus keluar)
Klimaks dari segala konflik yang terjadi dalam drama satu babak ini terjadi pada adegan ke 19. Adegan di mana Polisi menangkap Iskandar dan membawanya ke rumah makan Sambara atas suruhan Karnaen dengan tuduhan yang tidak jelas. Ani yang ditanyai akan kebenaran penghinaan yang diterimanya dari Iskandar mengatakan ya. Tetapi ketika Iskandar akan di bawa utntuk ditahan oleh pihak kepolisian, Ani meralat semua tuduhannya. Memang benar bahwa Iskandar menghinanya tapi ia pun tahu betul bahwa semua yang dikatakan Iskandar itu adalah benar. Hanya saja ia emosi menghadapi kenyataan itu lantas balik menghina dan menjelek-jelekkan Iskandar. Berikut ini kutipan dilaognya:
Polisi :”Tidak benar dia sudah melahirkan ejekan, menyebut penipu dan sebagainya kepada nona?”
Ani :“Betul dia berkata begitu, tapi saya dungu, tidak mau terus terang, bahwa sebenarnya.... sebenarnya apa yang dikatakannya itu mengandung kebenaran. Bahwa sebenarnya saya sudah dusta kepada diri sendiri dan kepada orang lain.”
Leraian dari segala konflik dan klimaks kemudian terjadi pada adegan ke 20. Abi memutuskan untuk ikut bersama Iskandar dan meninggalkan rumah makan Sambara. Hal itu dilakukan karena menurutnya hanya Iskandarlahyang melihat dirinya apa adanya. Hanya Iskandar yang jujur mengatakan bahwa ia tak lebih dari seorang penipu yang menjual potensi diri untuk keuntungan warung makan Sambara. Yang lain hanya mau memanfaatkannya.
Penutup
Pertentangan yang menjadi esensi drama disebut dengan istilah konflik. Konflik adalah dasar drama berupa pertentangan yang dialami tokoh sebagai respon atas timbulnya kekuatan-kekuatan dramatis (konflik bisa berupa pertangkaran anatr tokoh, pertangkaran tokoh dengan dirnya sendiri, dengan ide atau dengan lingkungannya).
Drama sebagai karya sastra memiliki kekuatan di dalam unsur dramatikanya yang terdapat dalam paparan dialog berupa konflik-konfliknya yang muncul dalam naskah drama. Dalam pementasan, dialog-dialog tersebutakan diucapkan oleh para aktor berupa lakuan yang selanjutnya akan membentuk suatu kesatuan peristiwa yang terjalin menjadi cerita yang utuh.
Konflik-konflik yang terjadi dalam drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani adalah konflik yang terjadi berupa pertengkaran antar tokoh dan pertengkaran tokoh dengan dirinya sendiri. Pertengkaran antar tokoh terjadi antara Ani dan Iskandar sedangkan pertengkaran tokoh dengan dirinya sendiri terjadi dalam diri Ani. Pergolakan batin yang terjadi dalam diri Ani banyak mempengaruhi alur cerita dari drama. Di lain pihak, semua konflik yang terjadi justru menjadi bagian yang saling mendukung sehingga membentuk suatu kesatuan cerita yang utuh dalam drama tersebut.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko.2010. Drama Indonesia. Ciputat: Editum
Ghazali, A. Syukur. 2001. Mempersiapkan Pementasan Drama: Analisis Naskah Drama. Malang: Departemen Pendidikan Nasional ,Universitas Negeri Malang, Fakultas Sastra
Harymawan, RMA. 1998. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda
Luxemburg, Van J. 1985. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Tambajong, Japi. 1981. Dasar-Dasar Dramaturgi. Bandung: CV Pustaka Prima
Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Tetapi naskah drama memiliki bentuk sendiri yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan (Waluyo, 2003:2). Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas dihadapan penonton (audience). Dalam penelitian ini, peneliti akan menguraikan lebih mendalam tentang konflik yang terdapat dalam naskah drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani. Bahwa konflik di dalam drama berkedudukan sebagai unsur dasar cerita serta berfungsi antara lain sebagai unsur yang memiliki peranan utama dalam menghidupkan peristiwa-peristiwa yang membentuk alur, serta secara umum berfungsi pula sebagai penyampai cerita dijadikan sebagai landasan atau dasar dalam penelitian ini, yang kesemua itu akan diuraikan di bagian pembahasan.
Latar Belakang
Sastra adalah proses penciptaan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya berdasarkan sistem norma dan konvensi-konvensinya dengan menonjolkan aspek estetik. Menurut Horace, terdapat dua fungsi sastra yaitu “dulce” dan “utile”, yakni sebagai hiburan dan bermanfaat. Dua fungsi sastra tersebut melekat pada setiap karya sastra. Artinya, di samping berfungsi sebagai hiburan juga dapat bermanfaat. Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang bersifat indah dan dapat menimbulkan kesan yang indah pada jiwa pembaca. Oleh karena itu, salah satu ciri karya sastra adalah bersifat imajinatif, yaitu menimbulkan citra atau bayangan tertentu di dalam benak penikmatnya.
Menurut genrenya, karya sastra dapat dibagi menjadi tiga yakni, puisi, prosa (fiksi) dan drama. Dari ketiganya, drama merupakan genre yang unik. Drama tidak sekedar dibaca tetapi juga dipertontonkan. Sebagai tontonan, cerita drama dikatakan empheral, yaitu bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Sejauh ini, drama masih dikatakan berasal dari Yunani, draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, beraksi dan sebagainya. Istilah lain yang sama dengan drama adalah sandiwara (dari bahasa Jawa) yang maksudnya cerita rahasia. Cerita tersebut kemudian digolongkan menjadi salah satu genre sastra, yakni sastra yang bercerita.
Drama merupakan imitasi artistik kehidupan. Oleh karena itu, drama bukanlah kehidupan nyata. Drama merupakan upaya kreatif pengarang atau penulis naskah drama sebagai hasil interpretasi terhadap kehidupan nyata atau kehidupan yang ada dalam imajinasi pengarang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, drama berarti komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (acting) atau dialog yang dipentaskan.
Drama adalah cerita tentang konflik manusia, kita tidak bisa memahami sampai kita tahu kapan, mengapa, dan bagaimana konflik manusia. Drama adalah cerita dalam bentuk dialog, drama tidak lebih dari interpretasi kehidupan, drama adalah salah satu bentuk kesenian. Drama dirancang untuk penonton, drama bergantung pada komunikasi. Jika drama tidak komunikatif, maksud pengarang, pembangun respon emosional tidak akan sampai (Dietrich, 1953:4).
Mempelajari naskah drama dapat dilakukan dengan cara mempelajari dengan seksama kata-kata, ungkapan, kalimat atau pernyataan tertentu yang dipergunakan oleh pengarang dalam naskah drama yang ditulisnya. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa penonton mungkin tidak pernah membaca sendiri dialog dalam naskah. Mereka mendengar dialog yang diucapkan oleh aktor di panggung (Ghazali, 2001:2).
Berdasarkan beberapa teori tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa drama adalah sebuah lakon atau cerita berupa kisah kehidupan dalam dialog dan lakuan tokoh berisi konflik manusia. Drama sebagai karya sastra dapat dibedakan menurut dua penggolongan mendasar yaitu drama sebagai sastra lisan dan drama sebagai karya tulis. Sebagai sastra lisan drama adalah teater, sedang drama sebagai karya tulis adalah peranan naskah terhadap komunikasi drama itu sendiri. Dalam hal ini lebih ditekankan aspek pembaca drama daripada penonton, dan mengubah pendekatan yang beorientasi pada aktor ke pendekatan yang berorientasi terhadap naskah.
Menurut Tambajong (1981:23) dalam naskah drama sege-segi yang harus diperhatikan banyak sekali, mulai dari menata hubungan yang luas antara pengarang dengan kehidupan, pengarang dengan naskah, naskah dengan aktor, naskah dengan sutradara, pengarang dengan aktor, pengarang dengan sutradara, naskah dengan kemungkinan dipentaskan, aktor dengan aktor, aktor dengan penonton, naskah dengan penonton, dan seterusnya.
Dipilihnya penelitian tentang konflik dalam naskah drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani disebabkan oleh beberapa hal, yakni :
Yang pertama dari segi pengarangnya, Utuy Tatang Sontani. Salah seorang pengarang angkatan 1945 yang mula-mula terkenal melalui romannya “Tambera” dan cerita-cerita pendeknya yang dikumpulkan dalam “Orang-Orang Sial”. Tetapi kemudian lebih dikenal dengan lakon-lakonnya. Pada awal tahun 1960-an, beliau tergabung dalam Lekra/PKI yang menurut Ajip Rosidi, peristiwa tersebut merupakan “belokan tajam” dalam perjalanan hidupnya. Sebab sebelum itu, dalam drama-dramanya ia sangat menonjolkan sifat individualistis yang tidak sesuai dengan paham Lekra. Dramanya Sayang Ada Orang Lain, misalnya menampilkan tragedi yang terjadi karena adanya campur tangan orang lain ke dalam kehidupan rumah tangga seseorang. Puncak individualsme dalam drama Utuy, terdapat dalam Sang Kuriang. Dalam drama yang diubah menjadi liberto ini, mitologi Sunda mendapat sorotan baru yang individualistis.
Yang kedua, kenyataan bahwa drama Bunga Rumah Makan merupakan salah satu drama karya Utuy yang menjadi titik tolak pergantian genre sastra yang digelutinya, dari roman dan cerita-cerita pendek kelakuan atau drama-drama yang unik.
Yang ketiga, dalam penelitian-penelitian karya sastra sebelumnya, penelitian tentang naskah drama terbilang sedikit jika dibandingkan dengan penilitian tentang prosa dan puisi, khususnya penelitian yang membahas secara lebih dalam tentang konflik dalam naskah drama. Penelitian tentang naskah drama sebelumnya antara lain : potensi dramatik dalam naskah drama, ciri atavisme dalam naskah drama, hubungan tema dalam naskah drama. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan sebagai syarat untuk kelulusan ujian Mata Kuliah Kajian Drama pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Cakupan Masalah
Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Tetapi naskah drama memiliki bentuk sendiri yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan (Waluyo, 2003:2). Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas dihadapan penonton (audience).
Drama merupakan sebuah karya sastra atau sebuah komposisi yang melukiskan kehidupan dan perilaku manusia dalam bentuk dialog untuk dipentaskan. Sementara kaidah dasar drama sebagai karya sastra adalah sebagai berikut : (1), dasar drama adalah konflik atau pertentangan antara tokoh/unsur lainnya yang memiliki kekuatan, konflik tersebut akan mewarnai setiap bagian yang ada dalam sebuah cerita drama, (2), dasar dari konflik adalah motif, motif adalah alasan atau penyebab munculnya konflik yang terjadi, (3), apa yang menggerakkan konflik, bagaimana konflik bergerak, dan bagaimana efek-efek dari konflik tergantung pada jenis dan fungsi setiap unit motivasional, (4), setiap unit motivasional dipengaruhi oleh unit yang hadir sebelumnya dan sesudahnya, (5), menafsirkan suatu unit bisa mempengaruhi semua makna keseluruhan permainan.
Pembahasan mengenai konflik dalam naskah drama adalah: (1) mengidentifikasi jenis unit motivasional sebagai indikasi sebab munculnya konflik, (2) mengidentifikasi fungsi unit motivasional sebagai indikasi bergeraknya alur dan efek dari konflik, (3) mengidentifikasi hubungan antara unit motivasional untuk mendapatkan kandungan makna dan maksud pengarang yang mengacu pada permasalan kemanusiaan yang bersumber pada tabiat kehidupan manusia.
Dari beberapa uraian tersebut, peneliti akan membatasi masalah yang akan diteliti. Penelitian ini akan membahas konflik sebagai dasar atau esensi dalam sebuah naskah drama, melalui analisis unit motivasional, karna motif merupakan dasar dari konflik.
Pembahasan
Konflik merupakan esensi dari sebuah drama. Dengan demikian, drama pasa dasarnya merupakan pencerminan kehidupan di masyarakat, yang berisi tentang pertentangan-pertentangan baik fisik maupun psikis. Pertentangan-pertentangan tersebut saling membentur sehingga membentuk rangkaian peristiwa yang menjadi padu dalam lakon tersebut (Ghazali, 2001:13) drama yang baik biasanya konfliknya selalu terkait dengan tema dan alur, maksudnya adalah temanya selalu terjalin di dalam alur yang kuat dan alurnya selalu dapat menarik perhatian karena tersusun dari jalinan konflik-konflik yang matang dan terarah serta tersebar secara merata dalam setiap bagian-bagian alur tersebut.
Dengan demikian yang dimaksud konflik dalam naskah drama adalah satu komplikasi yang bergerak pada satu klimaks atau bagian alur yang menggambarkan pertentangan-pertentangan yang terjadi diluar tokoh yang dimaksudkan sebagai penggambaran yang diberikan oleh pengarang agar pembaca menduga-duga perkembangan cerita selanjutnya.
Konflik bagi drama merupakan bagian yang amat penting. Konflik berfungsi sebagai penyebab munculnya situasi dramatik yang menggerakan cerita. Konflik juga berfungsi sebagai penyampai tema. Ada hubungan langsung antara tema dan alur dalam drama. Alur yang digariskan haruslah menjabarkan tema. Alur terbentuk dari rangkaian situasi dramatik yang terjadi karena adanya konflik. Situasi-situasi tersebut selanjutnya akan membentuk konflik-konflik yang lebih besar itulah yang disebut tema.
Konflik yang berasal dari tingkah laku tokoh di dalam drama pada mulanya didorong oleh motif-motif tertentu. Motif adalah jumlah total kekuatan dinamis yang menyebabkan respon manusia. Motif adalah dasar dari action. Yang penting dari action itu sendiri adalah alasan untuk ber-action. Menurut Gallaway (1953:106) dengan menganalisis adegan berarti menganalisis tokoh dan motif tiap tokoh dalam adegan, karena aktor harus bergerak sesuai dengan motif.
Konflik seperti yang diungkapkan oleh Meredith dan Fitzgerald dalam Burhan Nurgiantoro, (2002:122) menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau yang di alami tokoh-tokoh cerita, yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya.
Ada berapa peristiwa dalam drama Bunga Rumah Makan yang mendatangkan konflik pada para tokohnya. Berikut akan disusun berdasarkan urutan logis dan kronologis.
Konflik yang pertama muncul dalam drama ini terdapat pada adegan kedua, dialog antara tokoh Ani dan tokoh Karnaen didorong oleh keinginan untuk mengubah posisi Ani sebagai pelayan di rumah makannya, menjadi istri dan pendamping hidupnya Karnaen pun mulai menunjukkan “sinyal-sinyal” akan keinginannya itu. Keinginan untuk memperistri inilah yang juga menjadi motif yang memicu timbulnya konflik. Karnaen mulai membicarakan tentang persoalan-persoalan rumah tangga dengan Ani. Tetapi Ani tetap pada pendiriannya bahwa ia belum memikirkan hal itu. Berikut ini kutipan dialognya.
Karnaen : “Ah dipagi hari begini tidak ada yang aneh . (melangkah mendekati ani). Dan daripada mendengar radio aku lebih suka mendengar engkeu menceritakan pendirianmu. Engkau lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, Ani?”
Ani : ( berdiam pelan-pelan menjauhi Karnaen). “Saya tidak mengatakan bahwa saya lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, mas. Tapi saya belum hendak memikirkan rumah tangga, sebab saya masih senang bekerja.”
Karnaen : “Tapi Ani, ketika dulu engkau kubawa kesini keinginanku bukan hanya melihat engkau menjadi wanita yang sungguh-sungguh wanita. Dan wanita yang kumaksud itu ialah wanita yang cakap mengurus rumah tangga.”
Ani : (terkulai menundukkan kepala). “Mas, saya tiada mempunyai perkataan untuk menyatakan terima kasih atas kebaikan budi mas, sudah membawa saya kesini. Tapi ketika saya datang kesini dulu, saya tiada ingin lebih jadi pelayan, jadi pegawai sebagaimana kesanggupan seorang miskin di dalam mencari sesuap nasi.”
Karnaen : (terdiam memalinglkan muka).
Keteguhan atas pendirian Ani ini, membuat Karnaen merasa diabaikan. Ditolak oleh pelayan yang dulu ia tolong, Karnaen merasa sakit hati. Hal ini tentu saja menghadirkan konflik tersendiri yang dirasakan Ani, pergolakan batin antara keinginan untuk tetap pada pendirian atau membalas jasa dengan menyambut uluran tangan Karnaen untuk segera menikah.
Konflik yang selanjutnya, terjadi pada adegan ke-6, dialog antara Ani dan Usman, seorang kyai, kawan Sudarma ayah Karnaen. Tokoh Usman dalam adegan 6 ini, secara implisit mewakili pemikiran dan tanggapan masyarakat tentang keberadaan Ani di rumah makan Sambara, sehubungan dengan keinginan Karnaen untuk memperistrinya. Berikut ini kutipan adegan 6 drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani secara penuh.
Usman : (masuk) “Mana tuan Sudarma, Ani?”
Ani : (mengendurkan suara radio). “Barusan pergi ke kantor pertemuan, paman.”
Usman : “Who, katanya dia akan menunggu akki di sini.”
Ani : “Ada juga pesannya kepada saya, supaya paman menyuruhnya ke kantor pertemuan.”
Usman : “Dia itu, lepas sebentar saja dari mata,sudah sukar dikejar.”
Ani : “Sejak dari mana paman mengejar dia?”
Usman : “Mulai dari rumahnya, kami berjalan bersama-sama. Tapi di tengah jalan, dia meninggalkan. Katanya mau menunggu aku di sini. Begitulah, mertuamu Ani!”
Ani : (berdiri) “Mertua saya?”
Usman : “Akan jadi mertuamu maksudku.”
Ani : “Tapi paman, dari mana datangnya anggapan itu?”
Usman : “Tidak dari mana-mana hanya menurut kepantasan saja dan kebiasaan dalam pergaulan hidup. Menurut kepantasan, siapa berani-berani mengatakan tidak pantas engkau jadi istri Karnaen. Menurut kebiasaan, engkau dan Karnaen sudah bergaul sudah rapat sekali, bukan?”
Ani : (menutup siaran radio).”Tapi paman....”
Usman : “Ah, pendapat orang tak usah kau bantah. Tapi betul,tadi tuan Sudarma menyuruh aku menyusul?”
Ani : “Ya.”
Apa yang diungkapkan tokoh Usman dalam dialog-dialognya ini tentu saja kembali memicu pergolakan batin dalam diri Ani. Sudah menjadi hal yang sangat berbahaya bila sebuah gosip atau isu telah beredar di masyarakat, maka cerita gosip tersebut akan bercabang beranting dan tidak menutup kemungkinan cerita tersebut telah berkembang jauh meninggalkan cerita aslinya. Pernyataan Usman “hanya menurut kepantasan saja dan kebiasaan dalam pergaulan hidup” secara implisit mewakili tanggapan masyarakat. Meski itu tak dinyatakan secara verbal dengan kata-kata dalam dialog.
Konflik yang selanjutnya dapat diidentifikasi oleh peneliti tedapat pada adegan 12 dialog antara Ani dan Rukayah, sahabatnya. Motif yang memicu timbulnya konflik ini adalah adanya perbedaan prinsip antara Ani dan Rukayah dalam hal perasaan. Ani berpendapat bahwa keinginannya untuk menyerahkan segenap jiwa dan raganya kepada Suherman, kekasihnya, adalah murni tanda cintanya pada kapten polisi itu. Rukayah berpendapat, jika perasaan itu belum disertai dengan pikiran maka itu hanya akan menbuat perempuan, dalam hal ini Ani ataupun Rukayah, dipandang rendah oleh laki-laki, umat yang umumnya memandang hidup dengan pikiran. Berikut ini kutipan dialognya :
Rukayah : “Ingin aku bertanya, apa kehendak menyerahkan jiwa dan raga kepada laki-laki itu menurut perasaan saja, atau juga menurut pikiran. Sebab menurut cinta itu baru benar, jika pikiran turut menghitungnya, tapi ini hanya pendapatku saja. Ani, pendapat seorang perempuan yang tak mau dipandang lebih rendah oleh laki-laki, oleh umat yang umumnya memandang hidup dengan pikiran. Kalau aku menghadapi laki-laki dengan perasaan saja, alamat akan celaka aku sebagai perempuan.”
Ani : “Jadi menurut engkau, laki-laki itu dianggap ....”
Rukayah : “Musuh tapi Kawan!”
Melalui penuturan Rukayah ini, tentu saja Ani kembali berpikir dua kali mengenai hubungannya dengan Suherman. Mengenai janji-janji Suherman yang katanya bukanlah janji kosong.
Konflik yang ada pada adegan 13 itu yaitu dialog antara Ani dan Iskandar adalah konflik yang merupakan pemicu meletusnya klimaks dalam drama ini. Perlu di ketahui bahwa Iskandar adalah seorang pemuda yang tak memiliki pekerjaan. Selalu datang ke rumah makan Sambara hanya untuk memperhatikan aktifitas Ani. Maka ketika kunjungan yang kesekian kalinya, Ani pun menegurnya. Berikut ini adalah kutipan dialognya :
Iskandar : (duduk di atas meja). “Ya, aku datang di sini bukan untuk belanja, tapi untuk menengok, melihat engkau.”
Ani : “Untuk menakutkan aku!”
Iskandar : (tersenyum pahit). “Terima kasih.”
Ani : “Apa terima kasih?”
Iskandar : “Karena aku kau takut. Aku tahu bagimu aku memang bukan seperti laki-laki yang banyak.”
Ani : “Ya, tidak seperti yang banyak,tidak tahu adat kesopanan, duduk bukan ditempatnya duduk.”
Tidak seperti konflik-konflik sebelumnya yang berupa konflik batin, konflik pada adegan 13 ini merupakan pertentangan atau konflik yang terjadi pada dua orang – Ani dan Iskandar – yang masing-masing saling mempertahankan ego dan pendapat masing-masing. Mereka saling menghina dan menjatuhkan sambil berusaha menyangkal apa yang dikatakan oleh lawannya. Ani merasa tersinggung ketika Iskandar mengatakan bahwa Ani sedang bersandiwara, mendagangkan kecantikan dan menipu para laki-laki agar mereka datang dan berbelanja di rumah makan Sambara. Berikut ini kutipan dialognya:
Ani : “Hak? Hak apa? memangnya aku ini kerabatmu yang boleh kau hina? Memangnya rumah makan ini rumahmu, tempat engkau berkata dan berbuat semuanya terhadap orang lain? Ya, aku tahu, engkau menaruh dendam kepadaku, sebab kau cinta padaku, tapi tak sanggup mengatasi laki-laki lain, lantaran engkau tidak bekerja, kecuali mondar-mandir mengukur jalan.”
Iskandar :(bangkit berdiri). “Apa? Aku cinta padamu? Hh, memangnya aku ini buta? Sangkamu aku suka melihat kecantikanmu? Bah! Apa arti wajahmu.”
Ani : “Lekas pergi! Tak sudi aku melihat mukamu. Dasar lancongan. Tak tahu adat. Gampang saja membuka mulut.”
Iskandar :”Engkau yang gampang membuka mulut memainkan bibir. Kau sangka bibirmu itu dipandang bagus oleh semua orang?”
Dari kutipan dialog tersebut dapat diidentifikasi pola pikir dan tingkah laku tokoh yang menjadi motif atau pemicu lahirnya klimaks. Ani berpikir bahwa Iskandar melakukan penghinaan terhadap dirinya lantaran Iskandar juga menaruh hati padanya layaknya Karnaen dan juga Suherman. Tapi karena tidak dapat bersaing dengan laki-laki lain, maka Iskandar meluapkan segala emosi dan perasaannya dengan menghina dan mencaci maki Ani sebagai pelampiasannya.
Kejadian atau peristiwa ini memicu klimaks yang terjadi pada adegan 19. Setelah membaca kembali naskah drama Bunga Rumah Makan ini, ditemukan kenyataan bahwa ada beberapa konflik yang menjadi pemicu meletusnya klimaks dari drama karya Utuy Tatang Sontani ini. Adegan 17 yaitu dialog antara Ani, Sudarma, dan Usman dididentifikasi sebagai salah satu pemicu lahirnya klimaks. Dalam adegan tersebut, Usman yang notabene adalah seorang kyai mengatakan bahwa penghinaan yang diterima Ani adalah salah satu akibat dari kondisi dan keadaan Ani yang belum menikah. Berikut ini kutipannya:
Usman :”Tapi begitulah selama engkau tidak kawin. Engkau akan selalu diganggu orang, akan selalu merasa tidak aman. Karena itu kunasehatkan supaya lekas saja kawin. Orang kawin nyata mendekati keselamatan, menjauhi kecelakaan. Tidak sia-sia Tuhan mengadakan aturan mesti kawin kepada umatnya.”
Pergolakan batin kemudian dialami kembali oleh Ani dalam adegan 17 ini. Sudarma, dalam hal ini bos Ani, mengatainya sakit rohani. Itu membuatnya sedih dan ia teringat kepada ayah dan ibunya. Masalah menimpanya secara bersamaan. Berikut ini kutipan dialognya:
Sudarma : “Itu berarti melalukan keuntungan. Sebab orang yang menelpon itu sudah pasti berurusan dagang.”
Ani : “Saya tadi sedang kacau ingatan.”
Sudarma : “Ah, kacau ingatan! Hanya yang sakit rohani, kacau ingatan.”
Ani : “Memang sudah biasa, kacau ingatan itu jadipenyakit orang yang belum kawin.”
Ani : (menyapu-nyapu mata)
Usman : “Mengapa engkau menangis An?” (menghampiri)
Ani : “Saya..... Saya ingat kepada nasib paman.”
Usman :”Tapi kenapa mendadak sekali?”
Ani :”Saya ini sendiri di dunia, tak ibu, tak bapak (sedih). Dan orang yang saya anggap tempat menumpangkan diri, ternyata tidak sayang.” (mengisak)
Konflik selanjutnya yang menjadi pemicu lahirnya klimaks yaitu konflik yang terjadi pada adegan 18. Kedatangan Suherman ke rumah makan Sambara tidak seperti yang ia pikirkan. Ia yang datang untuk menemui Aniterjebak dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Ia dirongrong oleh saran yang diberikan oleh Usman agar segera menikahi Ani jika memang ia mencintai Ani. Suherman tidak menyukai diperlakukan seperti ini. Ia merasa didikte dan dipandang rendah. Seperti anak kecil yang harus menelan segala yang disuapkan ke dalam mulutnya. Jengah dengan nasehat yang dianggapnya tidak perlu, Suherman meninggalkan rumah makan tersebut, juga meninggalkan pelayannya. Berikut ini kutipan dialognya:
Suherman : “Orang menyuruh saya kawin itu tidak memandang rendah, tidak menganggap saya ini orang tolol yang tidak tahu arti cinta kepada perempuan? Tidak, saya tidak merasa senang dengan perkataan saudara. Saya malah merasa tersinggung.”
Usman : “Saya juga tidak hendak menyuruh kawin.”
Suherman : “Habis? Sangka saudara, saya mencintai perempuan itu untuk kawin?”
Usman : “Maksud kami tidak begitu, tapi....”
Ani :“Sudah! Sudah! Saya tahu bahwa orang hanya suka kepada senyumanku, tidak suka kepada air mataku.” (menangis pergi ke belakang)
Suherman : “Betul-betul datang di sini saya sial.”
Sudarma : “Nanti dulu, tuan. Duduk-duduklah dulu. Minum kopi susu atau susu cokelat? Nanti Ani melayani tuan.”
Suherman : “Tidak. Saya tidak mau minum apa-apa dan tidak akan datang lagi di sini. Selamat tinggal!” (berjalan terus keluar)
Klimaks dari segala konflik yang terjadi dalam drama satu babak ini terjadi pada adegan ke 19. Adegan di mana Polisi menangkap Iskandar dan membawanya ke rumah makan Sambara atas suruhan Karnaen dengan tuduhan yang tidak jelas. Ani yang ditanyai akan kebenaran penghinaan yang diterimanya dari Iskandar mengatakan ya. Tetapi ketika Iskandar akan di bawa utntuk ditahan oleh pihak kepolisian, Ani meralat semua tuduhannya. Memang benar bahwa Iskandar menghinanya tapi ia pun tahu betul bahwa semua yang dikatakan Iskandar itu adalah benar. Hanya saja ia emosi menghadapi kenyataan itu lantas balik menghina dan menjelek-jelekkan Iskandar. Berikut ini kutipan dilaognya:
Polisi :”Tidak benar dia sudah melahirkan ejekan, menyebut penipu dan sebagainya kepada nona?”
Ani :“Betul dia berkata begitu, tapi saya dungu, tidak mau terus terang, bahwa sebenarnya.... sebenarnya apa yang dikatakannya itu mengandung kebenaran. Bahwa sebenarnya saya sudah dusta kepada diri sendiri dan kepada orang lain.”
Leraian dari segala konflik dan klimaks kemudian terjadi pada adegan ke 20. Abi memutuskan untuk ikut bersama Iskandar dan meninggalkan rumah makan Sambara. Hal itu dilakukan karena menurutnya hanya Iskandarlahyang melihat dirinya apa adanya. Hanya Iskandar yang jujur mengatakan bahwa ia tak lebih dari seorang penipu yang menjual potensi diri untuk keuntungan warung makan Sambara. Yang lain hanya mau memanfaatkannya.
Penutup
Pertentangan yang menjadi esensi drama disebut dengan istilah konflik. Konflik adalah dasar drama berupa pertentangan yang dialami tokoh sebagai respon atas timbulnya kekuatan-kekuatan dramatis (konflik bisa berupa pertangkaran anatr tokoh, pertangkaran tokoh dengan dirnya sendiri, dengan ide atau dengan lingkungannya).
Drama sebagai karya sastra memiliki kekuatan di dalam unsur dramatikanya yang terdapat dalam paparan dialog berupa konflik-konfliknya yang muncul dalam naskah drama. Dalam pementasan, dialog-dialog tersebutakan diucapkan oleh para aktor berupa lakuan yang selanjutnya akan membentuk suatu kesatuan peristiwa yang terjalin menjadi cerita yang utuh.
Konflik-konflik yang terjadi dalam drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani adalah konflik yang terjadi berupa pertengkaran antar tokoh dan pertengkaran tokoh dengan dirinya sendiri. Pertengkaran antar tokoh terjadi antara Ani dan Iskandar sedangkan pertengkaran tokoh dengan dirinya sendiri terjadi dalam diri Ani. Pergolakan batin yang terjadi dalam diri Ani banyak mempengaruhi alur cerita dari drama. Di lain pihak, semua konflik yang terjadi justru menjadi bagian yang saling mendukung sehingga membentuk suatu kesatuan cerita yang utuh dalam drama tersebut.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko.2010. Drama Indonesia. Ciputat: Editum
Ghazali, A. Syukur. 2001. Mempersiapkan Pementasan Drama: Analisis Naskah Drama. Malang: Departemen Pendidikan Nasional ,Universitas Negeri Malang, Fakultas Sastra
Harymawan, RMA. 1998. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda
Luxemburg, Van J. 1985. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Tambajong, Japi. 1981. Dasar-Dasar Dramaturgi. Bandung: CV Pustaka Prima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar