Menurut Lovitt (1989) ada berbagai penyebab terjadinya problema dan kesalahan dalam belajar bahasa. Berbagai penyebab tersebut adalah sebagai berikut: (a) kekurangan kognitif, (b) kekurangan memori, (c) kekurangan kemampuan melakukan evaluasi, (d) kekurangan kemampuan memproduksi bahasa, dan (e) kekurangan dalam bidang pragmatic atau pengunaan fungsional bahasa. Penyebab-penyebab tersebut tentunya berpengaruh bagi proses pembelajaran dan perkembangan pengetahuan anak, khususnnya dalam hal kebahasaan dan dalam berkomunikasi. Berikut ini diuraikan satu persatu kekurangan tersebut beserta dengan contohnya.
Kekurangan kognitif merupakan salah satu penyebab utama terjadinya problema atau kesalahan dalam belajar bahasa. Kekurangan kognitif merupakan kekuranga dimana seorang anak tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang memadai mengenai suatu bahasa. Akibatnya ia sering melakukan kesalahan berbahasa dalam proses komunikasinya sehari-hari. Setidaknya terdapat tujuh jenis kekurangan yang disebabkan oleh kekurangan kognitif pada diri seorang anak. Berikut ini diuraikan satu persatu beserta dengan contohnya:
1. Kesulitan memahami dan membedakan makna bunyi wicara
Anak kesulitan belajar sering memiliki gangguan persepsi auditoris, yaitu kesulitan untuk memahami makna bunyi wicara. Kondisi semacam itu menyebabkan anak mengalami kesulitan untuk merangkai fonem, segmentasi bunyi, membedakan nada, mengatur kenyarinyan, dan mengatur durasi bunyi
.
Sebagai contoh: seorang anak yang ingin memastikan bahwa ibunya sedang marah padanya atau tidak menanyakan perihal tersebut kepada ibunya dengan berkata "Apakah ibu marah?." Tentu saja bila diucapkan dengan nada lembut dan berintonasi turun, maka meskipun ibunya marah maka ia akan menjawab dengan lembut pula. Tetapi karena kekurangan kognitif yang dimiliki oleh anak tersebut menyebabkan ia mengatakan pertanyaan tersebut dengan intonasi yang keras dan karas, akhirnya kesan yang ditangkap oleh ibunya adalah bahwa anaknya menantangnya dan berbalik marah pula kepadanya. Hal ini dapat saja terjadi apabila anak tersebut tidak memiliki pengetahuan unutk mengatur kenyaringan dan mengatur durasi bunyi yang dihasilkan oleh pita suaranya.
2. Kesulitan membentuk konsep dan mengembangkannya ke dalam unit-unit semantik.
Pemahaman terhadap unit-unit semantik (kata dan konsep) menunjukkan adanya pengetahuan tentang kekeluargaan kata secara tepat. Perkembangan normal tentang pembentukan konsep tergantung pada kemampuan abstraksi, generalisasi, kategorisasi, dan faktor-faktor lainnya.
Sebagai contoh: anak yang mengalami kesulitan belajar khususnya kesulitan dalam membentuk konsep dan mengembangkannya ke dalam unit-unit semantik kemungkinan hanya memiliki satu makna tentang kata belajar, yaitu duduk di kelas dan mendengarkan gurunya menerangkan. Padahal makna kata belajar dapat berarti suatu pekerjaan yang dilakukan untuk menambah ilmu dan pengetahuan serta dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun.
3. Kesulitan mengklasifikasi kata
Anak kesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata. Sebagai contohnya, ketika seorang anak dihadapkan pada kelompok kata seperti bambu, penggaris, pensil, pulpen, kayu, spidol, maka ia akan mengelompokkannya ke dalam satu kelompok berdasarkan bentuk bendanya, yakni panjang. Padahal yang dimaksdu adalah kelompok berdasarkan fungsinya yakni sebagai bahan baku rumah dan sebagai alat tulis.
4. Kesulitan dalam relasi semantik.
Anak kesulitan belajar sering mengalami kesulitan dan menetapkan kata yang ada hubungannya dengan kata lain. Sebagai contoh: seorang anak yang mengalami kesulitan ini mungkin saja tidak dapat merangkai kalimat yang terdiri dari kata sabun, mandi, sampo, air dan kamar mandi karena ia tidak dapat menemukan relasi atau hubungan dari kata0kata yang dimaksud.
5. Kesulitan dalam memahami sistem semantik
Anak kesulitan belajar khususnya kesulitan dalam memahami sistem semantik sering mengalami kesulitan dalam bercerita dan penjelasan mereka sering tidak tersusun secara teratur, baik, dan benar. Sebagai contoh: seorang anak yang ingin bercerita kepada temannya mengenai kehebatan ibunya dalam membuat kue, mungkin saja memulai ceritanya dari proses dipanggangnya kue oleh ibunya sampai pada dicampur dan diaduknya adonan kue tersebut oleh ibunya. Akhirnya teman yang mendengarkan ceritanya tidak mengerti apa yang telah diceritakannya.
6. Tranformasi semantik
Pengenalan dan kemampuan membuat makna kata mencerminkan suatu pemahaman transformasi semantik. Anak kesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam menggunakan kata yang memiliki banyak makna, perumpamaan (idioms), dan kiasan (metaphors). Sebagai contoh: jika seorang anak membca sebuah puisi dengan larik "senyummu melukiskan bulan purnama" maka anak tersebut akan memaknainya sesuai dengan makna kata yang menyusun larik tersebut. Tidak menganggapnya sebagai sebuah perumpamaan.
7. Implikasi semantik
Anak kesulitan belajar dalam hal ini kesulitan memahami implikasi semantik mengalami kesulitan dalam memahami pepatah, cerita perumpamaan, dongeng, atau mitos. Akibat dari kesulitan ini adalah anak kesulitan pula untuk memahami humor. Sebagai contoh: seorang ibu yang menegur anaknya yang sedang duduk di tangga dengan berkata "Jangan duduk di tangga nak, nanti Ibu mati". Anak tersebut tidak memahami makna dari mitos yang diucapkan ibunya untuk menegurnya karena ia mengalami kesulitan dalam implikasi semantik.
B. Kekurangan Memori
Adanya kekurangan dalam ingatan atau memori dapat menimbulkan kesulitan dalam hal memproduksi bahasa. Mereka yang mengalami kekurangan ini sering memperlihatkan adanya kekurangan khusus dalam mngulang urutan fonem, mengingat kembali kata-kata, mengingat simbol, dan memahami hubungan sebab akibat. Sebagai contoh: seorang anak yang mengalami kekurangan dalam hal ingatan akan kesulitan untuk mengulang kalimat-kalimat yang 10 menit lalu dihafalkannya. Anak yang mengalami kekurangan ini juga selalu lupa bahwa bila terdapat simbol berupa huruf P yang digaris, artinya bahwa di tempat tersebut dilarang untuk memarkir kendaraan.
C. Kekurangan Kemampuan Melakukan Evaluasi
Anak kesulitan belajar sering memiliki kesulitan dalam menilai kemantapan atau keajegan arti dari suatu kata baru terhadap informasi yang telah mereka peroleh sebelumnya. Akibatnya, anak mungkin akan menerima saja kalimat atau kata yang salah. Sebagai contoh: mungkin anak akan membenarkan saja kalimat "Saya belajar ke kelas". Selain tidak adanya kemapuan menilai seorang anak yang mengalami kesulitan ini pun tidak mampu melakukan perbaikan terhadap kesalahan yang ada.
D. Kekurangan Kemampuan Memproduksi Bahasa
Anak kesulitan belajar umumnya memiliki kesulitan dalam produksi konvergen dan divergen. Produksi konvergen berkenaan dengan kemampuan menggambarkan kesimpulan logis dari informasi verbal dan memproduksi jawaban semantik yang khas. Sebagai contoh: dalam sebuah diksusi di kelas tentang bahaya narkoba, anak yang mengalami kesulitan belajar bahasa akan menemui hambatan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan narkoba, serta tidak mampu pula untuk menyimpulkan gagasan-gagasan dari materi yang telah diuraikan sebelumnya.
Produksi devergen berkenaan dengan kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keluasan bahasa yang diproduksi. Sebagai contoh: seorang anak yang sedang berpidato atau menjelaskan suatu konsep di kelas atau di depan teman-temannya akan mengulang-ngulang materi yang telah ia berikan karena ia tidak mampu lagi memikirkan kkosa kata yang akan diucapkannya. Padahal dipikirannya tela diketahui apa lagi yang akan dibicarakannya, tetapi ia tidak memiliki kosa kata yang tepat untuk melisankannya.
E. Kekurangan dalam Bidang Pragmatik
Anak kesulitan belajar umumnya memperlihatkan kekuranagn dalam mengajukan pertanyaan, memberikan reaksi yang tepat terhadap sebuah pesan, menjaga atau mempertahankan percakapan, dan mengajukan sanggahan berdasarkan argumentasi yang kuat. Sebagai contoh: seorang anak tidak mampu mengajukan pertanyaan dalam sebuah diskusi yang membahas tentang bahaya narkkoba. Ia juga tidak mampu mengutarakan pendapat dan kesannya mengenai hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar