Jika Anda termasuk orang yang beruntung, dan pernah mencicipi suka dukanya bangku kuliah, Anda pasti mengenal dan mengetahui apa itu dosen. Lebih praktis, dalam sebuah artikel dikatakan bahwa dosen adalah pegawai universitas yang bertanggungjawab mengajarkan mata kuliah tertentu kepada mahasiswa setiap semesternya. Lebih lanjut menurut Wikipedia via paman Google, dosen adalah pendidik professional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Menjadi seorang dosen, seperti halnya guru, tentunya menjadi kebanggaan tersendiri secara pribadi maupun bagi keluarga dan kerabat. Mengapa? Karena profesi dosen, khususnya di Indonesia merupakan sebuah profesi yang kredibel. Dihormati. Profesi dosen memang selayaknya ditempatkan pada spektrum mulia di ranah kehidupan pekerjaan seseorang. Mengingat tanggungjawab yang diembannya, akan melahirkan dan memberikan kontribusi berupa proses perubahan bagi kualitas sumber daya manusia – apakah akan menjadi sumber daya manusia yang mumpuni atau tidak bagi keberlangsungan eksistensi kehidupan mereka (baca= mahasiswa) di kemudian hari.
Di pandang dari status sosial maupun ekonomi, dapat di simpulkan bahwa dosen cukup mapan. Apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden No.59 tahun 2006, mengenai tunjangan bagi dosen. Hal ini lebih mengukuhkan profesi dosen yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Ditambah dengan nuansa-nuansa intelektualitas yang dimilikinya, menempatkan dosen di kalangan masyarakat menengah ke atas.
Dosen mempunyai peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan mempersiapkan mahasiswanya untuk menghadapi realitas kehidupan sosial yang ada di masyarakat. Kehidupan yang penuh dengan kompetisi dan persaingan, utamanya dalam hal pekerjaan. Untuk itu, tidak sembarang orang dapat dikukuhkan sebagai dosen. Tidak boleh hanya bermodal title yang bergensi atau sebatas pengetahuan yang memadai. Seorang dosen haruslah sosok yang mampu menempatkan diri sebagai kontributor ilmu pengetahuan bagi mahasiswanya, juga menjadikan dirinya sebagai orang yang pantas diteladani, baik dari segi etika, moral, maupun dari segi penampilannyaDas Solen (Idealnya) Seorang Dosen
Menjadi seorang dosen yang professional (baca= ideal) merupakan cita-cita bagi semua dosen -juga mahasiswa- karena akan meningkatkan kualitas mengajar dan harga dirinya sebagai manusia. Mengapa mahasiswa? Karena yang akan terkena imbas langsung dari keprofesionalan dosen adalah mahasiswa. Boleh dikata, seorang dosen ada hanya karena adanya mahasiswa. Dalam sebuah artikel yang dipostkan oleh Andi Trinanda (yang juga seorang dosen), dikatakan bahwa selain mendidik, dosen juga melakukan penelitian. Laboratoriumnya adalah sebuah universitas, tempat bersemai dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Sembari mengembangkan ilmu pengetahuan, ia (dosen) juga mendidik calon-calon praktisi dan ilmuwan yang juga akan mengembangkan ilmu pengetahuan serta menerapkan hasil-hasil penelitian tersebut untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
Banyak pakar yang mengatakan bahwa seorang dosen yang ideal adalah dosen yang kompetensinya dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Tanggungjawab moral inilah yang nantinya akan dimanifestasikan sebagai suatu wadah pemikiran yang akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang secara konsepsional menjadi arah bagi standar pengelolaan pendidikan. Pertanyaannya dosen yang bagaimana yang kompetensinya dapat dipertanggungjawabkan secara moral itu?
Sebenarnya tidak ada suatu ukuran yang pasti tentang definisi dosen ideal itu. Kita hanya mampu memberikan tolak ukur dan kriteria yang berangkat dari pengamatan kita sehari-hari. Yang pertama dan utama adalah dosen harus produktif secara intelektual. Artinya seorang dosen harus mampu mengimplementasikan tridharma perguruan tinggi yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepda masyarakat, dengan baik. Dalam hal pengajaran misalnya, seorang dosen harus mampu memberikan memberikan pengetahuan kepada mahasiswanya secara actual dan otentik. Dengan demikian, dosen menjadi sumber referensi intelektual dalam perjalanan akademis seorang mahasiswa.
Selanjutnya, mata kuliah yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan, harus relevan dengan kemampuan dan latar belakang ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di samping memiliki tingkat pendidikan yang sesuai dengan jenjang keilmuan yang diajarkannya, juga harus ditopang oleh pengalaman mengajar yang memadai.
Selain kriteria di atas, menurut seorang narasumber yang keberatan disebutkan identitasnya, seorang dosen harus memiliki sikap yang baik dan bisa menjadi teladan bagi mahasiswanya. Ibarat pepatah guru kencing berdiri-murid kencing berlari, perilaku seorang dosen biasanya mencerminkan sikap mahasiswa kepada dosen yang bersangkutan. Jadi bila dosen cuek, maka mahasiswa pun acuh. Sebaliknya, dosen yang memiliki integritas dan ramah terhadap mahasiswanya, akan menjadi dosen favorit setiap mahasiswa.
Das Sein (Realitas) Dosen
Konsepsi ideal memang sudah selayaknya menjadi sebuah pegangan penting bagi dosen dalam beraktivitas sesuai dengan kode etik profesi (yang memang sudah seharusnya diterapkan). Tetapi pada kenyataannya tak banyak dosen yang mampu menerapkan secara keseluruhan apa-apa yang sudah tertulis dalam kode etik tersebut. Hal ini secara tidak disadari menjadi salah satu penyebab terjadinya kemunduran dalam bidang pendidikan di Indoensia.
Factor pertama yang menghambat kinerja dosen adalah ketidakcakapan dosen dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Bukan karena tidak menguasai materi, tetapi lebih karena kesalahan penggunaan metode belajar serta pola komunikasi yang tidak efektif, sehingga tidak menembus motivasi dan semangat belajar mahasiswa.
Realitas lain yang kadang terjadi adalah dosen tidak focus pada mata kuliah yang diajarkannya. Hal ini dapat terjadi bila dosen tersebut mengajar bukan hanya pada satu disiplin ilmu. Ditambah lagi dengan intensitas beban mengajar yang memadai. Persoaln lainnya adalah terkadang ada dosen yang tidak menunjukkan perilaku sebagai pendidik dan mengabaikan kaidah-kaidah normatif dunia pendidikan.
Tak perlu terlalu jauh mengambil contoh kasus mengenai ketidakprofesionalan seorang dosen. Tempat kita menjalani aktivitas perkuliahan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, fakultas tercinta kita, dengan disadari atau tidak, memiliki beberapa dosen yang tidak menunjukkan kompetensi yang baik bagi ukuran seorang dosen.
Tertulis dalam situs resmi FKIP, bahwa terdapat kurang lebih 250 dosen yang mengajar di FKIP dengan 80% di antaranya berpendidikan S2. Hal ini tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa FKIP. Tetapi apa gunanya kuantitas bila tidak disertakan dengan kualitas? Saya tidak mencoba untuk mengatakan bahwa dosen yang ada di FKIP tidak berkualitas. Hanya saja, ada beberapa dosen yang boleh dikata tidak menerapkan kode etik profesinya dengan baik. Artinya mereka tidak lagi mengutamakan tri dharma pendidikan itu sendiri. Profesinya sebagai dosen betul-betul dijadikan sebagai mata pencaharian utama. Ibarat ladang bagi para petani. Banyak dosen tetap di FKIP yang juga menerima job mengajar di tempat lain (dosen terbang).
Setelah melakukan pengamatan secara tidak sengaja beberapa bulan terakhir ini, ditemukan fakta bahwa dosen yang memiliki job mengajar yang banyak alias dosen terbang, juga menggunakan jam karet pada saat jam-jam mengajarnya. Imbasnya tentu saja pada mahasiswa. Untuk memenuhi kewajiban dan memperoleh hak, mereka harus mengorbankan banyak hal. Pada saat memenuhi kewajiban mereka utnuk membayar SPP, mereka harus rela mengantri berjam-jam, ditemani oleh bau keringat ribuan mahasiswa Unhalu yang tumpah di satu tempat. Gedung administrasi.
Untuk memperoleh hak pun, mereka harus berkorban. Buka apa-apa sebenarnya yang dikorbankan. Waktu. Kuliah yang dijadwalkan mulai jam 8 pagi molor hingga jam 9 atau jam 10. Dan perlu diingat kuliah yang dimulai jam 8 pagi rata-rata berakhir pada pukul 10:30. Bayangkan bila hal itu terjadi berulang-ulang pada mata kuliah yang sama, berapa jam waktu yang terbuang sia-sia hanya karena dosennya masih mengajar di tempat lain? Belum lagi bila sete;ah menunggu berjam-jam, tiba-tiba datang SMS dari dosen yang bersangkutan bahwa kuliah dipindahjadwalkan. Alhasil, pedoko tingkat tinggi pun menghampiri mahasiswa.
Bial dilihat sepintas hal ini memang sepele, tapi akan berdampak buruk bagi mahasiswa, maupun pada image dosen itu sendiri. berdasar dari pengalaman pribadi saya sebagai mahasiswa, bila dua sampai tiga kali berturut-turut dosen telat mengajar pada mata kuliah yang sama, maka dapat dipastikan bahwa pada perkuliahan ke empat, mahasiswa pun akan datang terlambat atau bahkan tidak datang sama sekali. Jadi boleh dikata, yang mengajari mahasiswa untuk malas kuliah adalah dosen itu sendiri.
Dampak selanjutnya akan dirasakan ketika tiba masa ujian final atau ujian akhir semester. Bagi dosen yang masih cukup peduli dengan materi yang diperoleh mahasiswa, akan memburu waktu dengan kuliah dua samai tiga kali dalam seminggu. Tapi bagi dosen yang sudah tidak peduli maka langsung diberikan ujian final, terlepas dari selesai atau tidaknya materi yang diajarkannya. Bila demikian, kegiatan mengajra tidak lagi berdasar pada tri dharma perguruan tinggi, tetapi hanya sekedar menggugurkan kewajiban.
Kenyataan yang lebih parah sekarang ini adalah para dosen terbang terlihat lebih senang mengajar di tempat lain daripada di tempat ia mengajar secara tetap. Entah apa yang menjadi penyebab, mungkin karena fasilitas yang lebih memadai atau insentif yang lebih besar? Allahualam. Ibarat burung, para dosen terbang pada kenyataannya telah melupakan sarangnya. Juga mengutamakan anak tiri di banding anak kandungnya sendiri.
Menjadi seorang dosen, seperti halnya guru, tentunya menjadi kebanggaan tersendiri secara pribadi maupun bagi keluarga dan kerabat. Mengapa? Karena profesi dosen, khususnya di Indonesia merupakan sebuah profesi yang kredibel. Dihormati. Profesi dosen memang selayaknya ditempatkan pada spektrum mulia di ranah kehidupan pekerjaan seseorang. Mengingat tanggungjawab yang diembannya, akan melahirkan dan memberikan kontribusi berupa proses perubahan bagi kualitas sumber daya manusia – apakah akan menjadi sumber daya manusia yang mumpuni atau tidak bagi keberlangsungan eksistensi kehidupan mereka (baca= mahasiswa) di kemudian hari.
Di pandang dari status sosial maupun ekonomi, dapat di simpulkan bahwa dosen cukup mapan. Apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden No.59 tahun 2006, mengenai tunjangan bagi dosen. Hal ini lebih mengukuhkan profesi dosen yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Ditambah dengan nuansa-nuansa intelektualitas yang dimilikinya, menempatkan dosen di kalangan masyarakat menengah ke atas.
Dosen mempunyai peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan mempersiapkan mahasiswanya untuk menghadapi realitas kehidupan sosial yang ada di masyarakat. Kehidupan yang penuh dengan kompetisi dan persaingan, utamanya dalam hal pekerjaan. Untuk itu, tidak sembarang orang dapat dikukuhkan sebagai dosen. Tidak boleh hanya bermodal title yang bergensi atau sebatas pengetahuan yang memadai. Seorang dosen haruslah sosok yang mampu menempatkan diri sebagai kontributor ilmu pengetahuan bagi mahasiswanya, juga menjadikan dirinya sebagai orang yang pantas diteladani, baik dari segi etika, moral, maupun dari segi penampilannyaDas Solen (Idealnya) Seorang Dosen
Menjadi seorang dosen yang professional (baca= ideal) merupakan cita-cita bagi semua dosen -juga mahasiswa- karena akan meningkatkan kualitas mengajar dan harga dirinya sebagai manusia. Mengapa mahasiswa? Karena yang akan terkena imbas langsung dari keprofesionalan dosen adalah mahasiswa. Boleh dikata, seorang dosen ada hanya karena adanya mahasiswa. Dalam sebuah artikel yang dipostkan oleh Andi Trinanda (yang juga seorang dosen), dikatakan bahwa selain mendidik, dosen juga melakukan penelitian. Laboratoriumnya adalah sebuah universitas, tempat bersemai dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Sembari mengembangkan ilmu pengetahuan, ia (dosen) juga mendidik calon-calon praktisi dan ilmuwan yang juga akan mengembangkan ilmu pengetahuan serta menerapkan hasil-hasil penelitian tersebut untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
Banyak pakar yang mengatakan bahwa seorang dosen yang ideal adalah dosen yang kompetensinya dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Tanggungjawab moral inilah yang nantinya akan dimanifestasikan sebagai suatu wadah pemikiran yang akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang secara konsepsional menjadi arah bagi standar pengelolaan pendidikan. Pertanyaannya dosen yang bagaimana yang kompetensinya dapat dipertanggungjawabkan secara moral itu?
Sebenarnya tidak ada suatu ukuran yang pasti tentang definisi dosen ideal itu. Kita hanya mampu memberikan tolak ukur dan kriteria yang berangkat dari pengamatan kita sehari-hari. Yang pertama dan utama adalah dosen harus produktif secara intelektual. Artinya seorang dosen harus mampu mengimplementasikan tridharma perguruan tinggi yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepda masyarakat, dengan baik. Dalam hal pengajaran misalnya, seorang dosen harus mampu memberikan memberikan pengetahuan kepada mahasiswanya secara actual dan otentik. Dengan demikian, dosen menjadi sumber referensi intelektual dalam perjalanan akademis seorang mahasiswa.
Selanjutnya, mata kuliah yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan, harus relevan dengan kemampuan dan latar belakang ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di samping memiliki tingkat pendidikan yang sesuai dengan jenjang keilmuan yang diajarkannya, juga harus ditopang oleh pengalaman mengajar yang memadai.
Selain kriteria di atas, menurut seorang narasumber yang keberatan disebutkan identitasnya, seorang dosen harus memiliki sikap yang baik dan bisa menjadi teladan bagi mahasiswanya. Ibarat pepatah guru kencing berdiri-murid kencing berlari, perilaku seorang dosen biasanya mencerminkan sikap mahasiswa kepada dosen yang bersangkutan. Jadi bila dosen cuek, maka mahasiswa pun acuh. Sebaliknya, dosen yang memiliki integritas dan ramah terhadap mahasiswanya, akan menjadi dosen favorit setiap mahasiswa.
Das Sein (Realitas) Dosen
Konsepsi ideal memang sudah selayaknya menjadi sebuah pegangan penting bagi dosen dalam beraktivitas sesuai dengan kode etik profesi (yang memang sudah seharusnya diterapkan). Tetapi pada kenyataannya tak banyak dosen yang mampu menerapkan secara keseluruhan apa-apa yang sudah tertulis dalam kode etik tersebut. Hal ini secara tidak disadari menjadi salah satu penyebab terjadinya kemunduran dalam bidang pendidikan di Indoensia.
Factor pertama yang menghambat kinerja dosen adalah ketidakcakapan dosen dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Bukan karena tidak menguasai materi, tetapi lebih karena kesalahan penggunaan metode belajar serta pola komunikasi yang tidak efektif, sehingga tidak menembus motivasi dan semangat belajar mahasiswa.
Realitas lain yang kadang terjadi adalah dosen tidak focus pada mata kuliah yang diajarkannya. Hal ini dapat terjadi bila dosen tersebut mengajar bukan hanya pada satu disiplin ilmu. Ditambah lagi dengan intensitas beban mengajar yang memadai. Persoaln lainnya adalah terkadang ada dosen yang tidak menunjukkan perilaku sebagai pendidik dan mengabaikan kaidah-kaidah normatif dunia pendidikan.
Tak perlu terlalu jauh mengambil contoh kasus mengenai ketidakprofesionalan seorang dosen. Tempat kita menjalani aktivitas perkuliahan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, fakultas tercinta kita, dengan disadari atau tidak, memiliki beberapa dosen yang tidak menunjukkan kompetensi yang baik bagi ukuran seorang dosen.
Tertulis dalam situs resmi FKIP, bahwa terdapat kurang lebih 250 dosen yang mengajar di FKIP dengan 80% di antaranya berpendidikan S2. Hal ini tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa FKIP. Tetapi apa gunanya kuantitas bila tidak disertakan dengan kualitas? Saya tidak mencoba untuk mengatakan bahwa dosen yang ada di FKIP tidak berkualitas. Hanya saja, ada beberapa dosen yang boleh dikata tidak menerapkan kode etik profesinya dengan baik. Artinya mereka tidak lagi mengutamakan tri dharma pendidikan itu sendiri. Profesinya sebagai dosen betul-betul dijadikan sebagai mata pencaharian utama. Ibarat ladang bagi para petani. Banyak dosen tetap di FKIP yang juga menerima job mengajar di tempat lain (dosen terbang).
Setelah melakukan pengamatan secara tidak sengaja beberapa bulan terakhir ini, ditemukan fakta bahwa dosen yang memiliki job mengajar yang banyak alias dosen terbang, juga menggunakan jam karet pada saat jam-jam mengajarnya. Imbasnya tentu saja pada mahasiswa. Untuk memenuhi kewajiban dan memperoleh hak, mereka harus mengorbankan banyak hal. Pada saat memenuhi kewajiban mereka utnuk membayar SPP, mereka harus rela mengantri berjam-jam, ditemani oleh bau keringat ribuan mahasiswa Unhalu yang tumpah di satu tempat. Gedung administrasi.
Untuk memperoleh hak pun, mereka harus berkorban. Buka apa-apa sebenarnya yang dikorbankan. Waktu. Kuliah yang dijadwalkan mulai jam 8 pagi molor hingga jam 9 atau jam 10. Dan perlu diingat kuliah yang dimulai jam 8 pagi rata-rata berakhir pada pukul 10:30. Bayangkan bila hal itu terjadi berulang-ulang pada mata kuliah yang sama, berapa jam waktu yang terbuang sia-sia hanya karena dosennya masih mengajar di tempat lain? Belum lagi bila sete;ah menunggu berjam-jam, tiba-tiba datang SMS dari dosen yang bersangkutan bahwa kuliah dipindahjadwalkan. Alhasil, pedoko tingkat tinggi pun menghampiri mahasiswa.
Bial dilihat sepintas hal ini memang sepele, tapi akan berdampak buruk bagi mahasiswa, maupun pada image dosen itu sendiri. berdasar dari pengalaman pribadi saya sebagai mahasiswa, bila dua sampai tiga kali berturut-turut dosen telat mengajar pada mata kuliah yang sama, maka dapat dipastikan bahwa pada perkuliahan ke empat, mahasiswa pun akan datang terlambat atau bahkan tidak datang sama sekali. Jadi boleh dikata, yang mengajari mahasiswa untuk malas kuliah adalah dosen itu sendiri.
Dampak selanjutnya akan dirasakan ketika tiba masa ujian final atau ujian akhir semester. Bagi dosen yang masih cukup peduli dengan materi yang diperoleh mahasiswa, akan memburu waktu dengan kuliah dua samai tiga kali dalam seminggu. Tapi bagi dosen yang sudah tidak peduli maka langsung diberikan ujian final, terlepas dari selesai atau tidaknya materi yang diajarkannya. Bila demikian, kegiatan mengajra tidak lagi berdasar pada tri dharma perguruan tinggi, tetapi hanya sekedar menggugurkan kewajiban.
Kenyataan yang lebih parah sekarang ini adalah para dosen terbang terlihat lebih senang mengajar di tempat lain daripada di tempat ia mengajar secara tetap. Entah apa yang menjadi penyebab, mungkin karena fasilitas yang lebih memadai atau insentif yang lebih besar? Allahualam. Ibarat burung, para dosen terbang pada kenyataannya telah melupakan sarangnya. Juga mengutamakan anak tiri di banding anak kandungnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar