Oleh : Ika Sartika
Senja sudah harus berlalu, karena malam juga ingin menampilkan pesonanya. Sepasang mata menatap lepas ke angkasa, seperti menanti kehadiran kerlip bintang, tapi tatapan itu kosong. Mata itu masih di situ, menatap ke angkasa tanpa reaksi nyata. Ada basah di sudut lancip penanda sipitnya, mengalir menganak sungai. Tapi empunya mata tak sedikit pun ada niat untuk menyeka atau menyudahi tangisnya. Ia menangis tapi tak sesegukan seperti lazimnya orang menangis. Pertanda ia sedang menangis hanyalah adanya air mata yang membentuk dua sungai di pipi tirusnya.
Malam mulai menjemput menghadirkan bulan yang datang dengan malu-malu menyembul di pelataran angkasa luas bersama bintang-bintang gemerlap. Hanya sunyi yang ada, hingga terdengar jelas nyanyian serangga malam, menghadirkan lagu kidung malam, di segudang keperihan dan kepedihan dalam kegelapan. Ia masih di situ. Kini terdengar lirih suaranya melagukan nyanyian kerinduan akan sesuatu untuk bisa ia dekap dalam hadir yang nyata. Malang sungguh telah hadir di kehidupannya kini, tiada siapa yang bisa tahu akan apa yang telah terjadi dalam kenyataan yang pernah dihadapinya saat harus kehilangan orang yang sangat dicintainya.
Adakah puing-puing yang berserakan akan dapat menguraikan segala kesaksian nyata? Bisakah sang angin mewartakan kejadian yang sesungguhnya dan bisakah sang senja kala itu menaunginya dari rasa kehilangan yang mencekan jiwanya? Saat itu hanya ada luka, yang entah kapan sembuhnya.
Malam mulai menjemput menghadirkan bulan yang datang dengan malu-malu menyembul di pelataran angkasa luas bersama bintang-bintang gemerlap. Hanya sunyi yang ada, hingga terdengar jelas nyanyian serangga malam, menghadirkan lagu kidung malam, di segudang keperihan dan kepedihan dalam kegelapan. Ia masih di situ. Kini terdengar lirih suaranya melagukan nyanyian kerinduan akan sesuatu untuk bisa ia dekap dalam hadir yang nyata. Malang sungguh telah hadir di kehidupannya kini, tiada siapa yang bisa tahu akan apa yang telah terjadi dalam kenyataan yang pernah dihadapinya saat harus kehilangan orang yang sangat dicintainya.
Adakah puing-puing yang berserakan akan dapat menguraikan segala kesaksian nyata? Bisakah sang angin mewartakan kejadian yang sesungguhnya dan bisakah sang senja kala itu menaunginya dari rasa kehilangan yang mencekan jiwanya? Saat itu hanya ada luka, yang entah kapan sembuhnya.
***
Aku melihatnya pertama kali di jalan, sedang menuntun seorang nenek yang ingin menyeberang di jalan yang memang ramai pada saat itu. Wajahnya biasa saja. Tapi ada aura yang seakan-akan memanggil dan memintaku untuk mendekatinya. Aku tiba-tiba saja menghentikan laju mobilku dan memutuskan untuk mengikutinya. Ternyata dia masuk di sebuah warung pinggir jalan tak jauh dari tempatku berdiri memandangnya. Tak lepas tatapanku pada sosoknya yang ramping. Di dalam warung itu, ia sibuk melayani pembeli.
Dengan tangannya yang cekatan dia membersihkan meja, mengantar pesanan, menerima pembayaran dari pembeli, dan sesekali menyeka keringat yang menetes di dahinya. Tanpa ku sadari, telah dua jam lamanya aku berdiri memandang aktivitas gadis itu. Entah apa yang mendorongku melakukan itu. Tapi aku merasa harus mengenalnya. Ada rasa tertarik yang memintaku untuk mendekatinya.
Pada hari ke delapan pengintaianku, kuputuskan untuk mulai mendekatinya. Aku masuk ke warung makannya, dan dari sana tetap kuperhatikan dia. Dia mendekat dan mulai menawarkan menu yang tersedia di warungnya. Es kelapa dan soto babat. Aku mengikuti sarannya. Ia pun berlalu untuk menyediakan makanan yang ku pesan. Dibantu oleh seorang lelaki paruh baya yang belakangan ke ketahui bahwa lelaki itu adalah ayahnya.
Duduk di warung pinngir jalan ini, aku masih tak mengerti apa yang membuatku nekat melakukan ini. Dia hanya gadis biasa. Tapi kutemukan kesahajaan dan semangat serta rasa percaya diri yang tinggi dari dalam dirinya. Juga senyum dan keramahan yang selalu ia bagikan kepada setiap oengunjung warung makannya. Mungkin ini salah satu faktor yang menjadikan warung makan ini selalu ramai dikunjungi. Aku benar-benar terpesona padanya.
Hingga berbulan-bulan aku selalu sarapan di warung makannya. Berkenalan dengan ayahnya dan membicarakan topik-topik ringan. melihat orang tua ini, aku merasa menemukan kembali sosok orang tua yang telah lama pergi dariku, terlebih sosok ayahku yang hanya 7 tahun menemaniku.
Dari pendekatanku selama ini kuketahui bahwa ia tidak melanjutkan pendidikan bukan karena ia bodoh. Tapi lebih karena ia kekurangan dana. Sebagai orang tua tunggal ayahnya tak cukup memiliki penghasilan yang cukup untuk mrmbiayai kuliahnya. Tapi itu tak membuatnya berhenti belajar. Ia belajar otodidak. Membaca buku apapun yang di temukannya. Banyak hal yang ia ketahui, utamanya di bidang komputer. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, membuatku semakin terpesona padanya. Hanya kekurang beruntungan yang membuatnya seperti ini.
Sampai pada saat itu, aku masih belum berani menyebut perasaan yang kumiliki ini sebagai cinta. Untuk menngatakan suka, ya aku suka padanya. Tidak ada alasana untuk tidak menyukai gadis sederhana ini. Semua informasi yang kubutuhkan telah kudapatkan. Aku mulai berpikir untuk menyimpulkan perasaan apa yang sebenarnya kumiliki. Semalaman mata tak dapat terpejam. Memikirkan apakah ada yang salah jika aku mencintainya. Kuketahui sendiri bahw ajawabannya adalah tidak ada.
Aku yakin benar akan hal ini. Aku merasa bahwa ia juga menaruh hati padaku. Toh, selama ini ia tak pernah menolak kehadiranku dan selalu tersenyum manis padaku. Juga ayahnya, tak pernah sekali pun beliau menunjukkan muka kurang bersahabat jika aku berada di depannya. Aku yakin tak akan ada penolakan jika aku mengatakan aku ingin meminangnya. Aku merasa sudah sangat siap. Aku pun yakin bahwa aku bisa membahagiakannya. Aku sanggup menafkahinya, lahir dan batin, pun menyekolahkan bila ia mau. Maka kuputuskan untuk mulai memperkenalkan siapa aku sebenarnya di depannya dan juga di depan ayahnya
Bila dulu aku tak pernah memarkir mobilku di depan warung makannya, kali ini ku kemudikan mobil Soluna hijau metalikku dan berhenti persis di depan warungnya. Ini salah satu kiat agar ayahnya, dan utamanya dia, yakin bahwa aku sanggup memberikan materi dan kebahagiaan untuknya. Selama ini aku memang tak memperkenalkan diri secara berlebihan. Tak ada niat untuk membohongi mereka, hanya saja aku tertarik melihat ketulusan dan keramahan mereka kepada semua orang. Tak peduli apakah ia kaya ataupun miskin.
Tak biasanya warung makan itu sepi di waktu makan siang seperti ini. Pintunya pun tertutup rapat. Apa mereka tidak membuka warung untuk sementara. Tapi ada hal apa sampai mereka meninggalkan warungnya. Bukankah ini satu-satunya mata pencaharian mereka. Kudekati jendela warung itu dan ku mengintip ke dalamnya. Tak ada satu orang pun yang terlihat beraktivitas di dalam warung. Maka segera ku telpon nomor rumah yang pernah ayahnya berikan kepadaku, seseorang menjawabnya dengan suara yang tak jelas karene di iringi dengan isak tangis, juga latar suara dibelakangnya yang terdengar seperti orang mengaji.
Apa sebenarnya yang terjadi? Aku bertanya-tanya dalam hati. Tapi bila aku hanya berdiri di sini ku yakin tak akan kutemukan jawab dari semua tanya yang kini melingkupi pikiranku. Maka kupacu kembali mobilku ke arah yang berlawanan. Ku kemudikan mobilku ke alamat rumah yang diberikan ayahnya beserta nomor telpon waktu itu.
Sampai di alamat yang kutuju, kutemui rumah yang amat sederhana. Beratap genteng dengan halaman yang luasnya pas dengan besarnya rumah. Penataan taman yang bagus. Kupastikan ini hasil buah tangan gadis sederhana itu. Tapi dimana dia? Mengapa dirumah ini lebih ramai dari rumah penduduk lainnya? Perasaanku sangat tidak nyaman. Pasti ada sesuatu hal yang terjadi.
Aku memberanikan diri masuk kerumah itu. Kulihat orang-orang yang berpakaian serba hitam, ya semua hitam. Juga pada penglihatanku pada saat seseorang membisikkan padaku bahwa yang empunya rumah berserta putrinya kecelakaan tadi pagi. Keduanya tak dapat diselamatkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar